Skip to main content

Muhammadiyah Sebagai Gerakan Amal Saleh

Muhammadiyah Sebagai Gerakan Amal Saleh


KULIAHALISLAM.COM - Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Ciri Khas Orang Muhammadiyah, saya mendapatkan beberapa masukan. Tentang ciri khas Muhammadiyah yang belum saya sebut dalam tulisan itu. Pertama dari Azaki Khoirudin bahwa ciri khas orang Muhammadiyah adalah kedermawanan. Etos kedermawanan ini berdasarkan pada penafsiran dari Surat Al Ma’un. 

Kedua dari Jumadi Alfi, yakni orang Muhammadiyah jika mempunyai dana maka akan segera membangun amal usaha seperti sekolah, rumah sakit atau panti asuhan. Bahkan jika kekurangan dana pun Muhammadiyah tetap membangun.

Masukan tersebut saya terima dengan senang hati. Alasan saya tidak menuliskannya karena dua ciri khas di atas sudah cukup banyak diketahui oleh warga Muhammadiyah. Saya menulis sisi yang kurang dieksplor saja. 

Selain itu, perihal filantropi dan membangun amal usaha Muhammadiyah bukan satu-satunya organisasi yang melakukannya. Di agama lain juga ada, misalnya Yayasan Buddha Tzu Chi. Yang membangun amal usaha pun bukan hanya Muhammadiyah. PGRI dan Taman Siswa juga punya banyak sekolah. 

Saya pernah menemukan seorang kader Muhammadiyah yang “terlalu ideologis”. Saking ideologisnya dia tidak menganggap keberhasilan Muhammadiyah membangun banyak amal usaha sebagai sebuah pencapaian yang hebat. Dia malah bilang, kalau Muhammadiyah hanya jadi gerakan sosial dan membangun amal usaha saja, apa bedanya Muhammadiyah dengan Kosgoro? Begitu katanya. 

Tentu saja saya tak sepenuhnya sepakat dengan ungkapan tersebut. Memang kegiatan filantropi dan membangun amal usaha tidak hanya dilakukan Muhammadiyah. Tapi Muhammadiyah berhasil menjadikan basis teologi Islam sebagai landasan aksi filantropi dan pembentukan amal usahanya.

Muhammadiyah berhasil mentransformasikan akidah dan syariah menjadi aksi nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan ini ajaran Islam akan dinilai bisa memberi kontribusi bagi sesama dan menjadi rahmat bagi semesta. 

Soal filantropi Muhammadiyah kita sudah sangat tidak asing dengan kisah Kiai Dahlan mengajarkan Surat Al Ma’un kepada santrinya. Kalau kita buka catatan sejarah mengenai Muhammadiyah, dijelaskan bahwa Kiai Dahlan juga menganut etika welas asih. 

Etika ini adalah anti tesis dari teori seleksi alam Charles Darwin, dimana makhluk hidup harus saling bertarung dengan yang lain untuk bertahan. Etika Welas Asih percaya bahwa manusia bisa bersikap penuh kasih sayang dan membantu sesame. Etos ini juga disebut dengan altruisme. 

Ayah saya bahkan pernah mengaitkan spirit filantropi Muhammadiyah dengan lambang Muhammadiyah, yakni matahari. Kenapa Muhammadiyah lebih memilih menggunakan matahari? Padahal umat Islam lebih identik dengan lambang bulan dan bintang yang diambil dari bendera Turki Utsmani? Boleh jadi karena di dalam lambang matahari terdapat spirit untuk berbagi. Seperti dikatakan dalam lagu anak-anak yang populer, “hanya memberi, tak harap kembali. Bagai Sang Surya, menyinari dunia.”

Dalam Al Qur’an sering kita temukan ayat “aamanuu wa amilus shaalihaat”, yang artinya beriman dan beramal saleh. Persoalannya adalah sebagian masyarakat memaknai amal saleh dengan rukun Islam, yakni shalat, puasa, zakat dan haji. Muhammadiyah mencoba melampaui pemaknaan tersebut. Bahwa amal saleh tidak hanya rukun Islam, tapi juga membangun hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

Setidaknya dalam tiga aspek yakni schooling (pendidikan), healing (kesehatan) dan feeding (pelayanan sosial). Lahirlah sekolah/perguruan tinggi, klinik/rumah sakit dan panti asuhan (sekarang disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) Muhammadiyah. 

Muhammadiyah menyebut lembaga-lembaga tersebut sebagai amal usaha. Dalam bahasa modern sekarang, amal usaha cocok dengan social enterprise, dimana pelakunya disebut social entrepreneur

Jika entrepreneur adalah pebisnis murni, dimana profit dari bisnis menjadi laba ditahan untuk memperbesar skala usaha dan memperkaya pemegang saham, maka social enterprenur tidak begitu. Profit yang digunakan dari hasil bisnis digunakan untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat juga meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 

Amal usaha Muhammadiyah memang harus punya sisi bisnis, agar dia mandiri, tidak bergantung kepada pemerintah. Tapi sisi bisnis dalam AUM harus digunakan untuk meningkatkan kualitas AUM itu sendiri. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat bisa maksimal. Tak terasa, dalam perjalanan 1 abad ini, perkembangan amal usaha Muhammadiyah begitu pesat. Jika Kiai Dahlan bisa bangkit dari kubur, barangkali beliau akan kaget melihat banyaknya AUM hari ini. 

Sayangnya tetap ada persoalan yang muncul. Buya Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa Muhammadiyah hari ini ibarat gajah bengkak. Karena saking banyaknya amal usaha, maka energi kita habis untuk mengurus AUM dan gerakan kita menjadi melemah. 

Almarhum Kang Moeslim Abdurrahman pernah mengingatkan bahwa yang diminta oleh Al Qur’an itu adalah ahsanu amala, bukan aktsaru amala. Sedangkan menurut Kang Moeslim Muhammadiyah hari ini lebih cenderung ke aktsaru amala, banyak amalnya namun kualitasnya kurang diperhatikan. 

Sempat muncul ide untuk moratorium amal usaha Muhammadiyah. Muhammadiyah jangan dulu membangun amal usaha baru, lebih baik yang sudah ada saja ditingkatkan kualitasnya. Namun ide ini sulit untuk terealisasi. Mengingat semangat warga Muhammadiyah di akar rumput untuk membangun amal usaha baru. 

Ke depan, agar amal usaha bisa menjadi ahsanu amala, bukan aktsaru amala, diperlukan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membangun. Selain itu, para penggeraknya mesti mempunyai ruhul ikhlas dan ruhul jihad. Dua semangat ini yang akan membuat gerakan amal Muhammadiyah maju. Tanpa ruhul jihad dan ruhul ikhlas, bisa ditebak amal usaha Muhammadiyah akan sulit berkembang.

Oleh: Robby Karman

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar