Sejarah Kemunculan Media Massa Islam di Indonesia
Ditulis pada: Februari 08, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Media Islam yang tertua di Indonesia adalah Al Munir yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1911 di Padang dan bertahan sampai tahun 1915. Majalah yang terbit setiap hari Sabtu ini dikelola oleh para Ulama di Minangkabau dan dipimpin oleh Abdullah Ahmad (murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau).
Tema Majalah Al Munir adalah “usaha orang-orang alim Minangkabau” dan “media gerakan kaum muda Minangkabau”. Pengurus lainnya dari Majalah Al Munir antara lain Haji Marah Muhammad bin Abdul Hamid, Haji Sultan Jalaludin Abubakar, Haji Abdul Karim Amrullah Danau, Sultan Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batusangkar, Sultan Muhammad Salim (ayahanda KH Agus Salim).
Mereka semua tergabung dalam sebuah organisasi yang dinamakan “Syarikat Ilmu”. Syarikat inilah yang menjadi bahan penerbit Majalah dakwah itu. Majalah Al Munir menggunakan bahasa Melayu dan huruf Jawi. Majalah ini bukan hanya tersebar di Minangkabau, melainkan juga di Jawa dan Semenanjung Malaysia.
Isinya terdiri dari rubik seperti artikel yang membahas persoalan agama Islam, berkenaan dengan hukum fikih, perkembangan dunia Islam. Majalah ini dari Majalah Al Imam di Singapura yang dipimpin Syekh Taher Jalaluddin yang terbit pada tahun 1906-1908. Majalah Al Imam diilhami oleh Majalah Al Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir.
Syekh Taher Jalaluddin yang lahir di Ampat Angkat, Sumatra Barat adalah saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Sebagai tokoh-tokoh muda yang banyak mendapat pengaruh dari Al Imam, para pengelola Majalah Al Munir banyak menulis ide-ide pambaharuan Islam Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Artikel yang dimuat di Al Munir banyak menimbulkan kontroversi, akibatnya Ulama tradisional menerbitkan Majalah Suluh Melayu di bawah pimpinan Syekh Khatib Ali (pengikut Syekh Khatib Minangkabau) dan Majalah Al Mizan di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri yang terbit di Maninjau.
Penerbitan Majalah Al Munir yang terakhir pada tanggal 15 Rabiul Awal 1333 H/31 Januari 1915. Pada edisi terakhir terdapat tulisan perpisahan dengan judul “Khatama”. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Al Munir tidak dapat dilanjutkan lagi namun kepada para pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan terus menambah ilmunya dengan cara rajin membaca. Terhentinya penerbitan Majalah itu karena kekurangan dana sebab banyak pelanggan Majalah itu yang enggan membayar.
Pada tahun 1918, terbit Majalah Al Munir Al Manar atau yang biasa dijuluki Al Munir Padang karena terbit di Padang Panjang. Majalah ini diterbitkan atas anjuran Haji Abdul Karim Amrullah dan dipimpin oleh Zainuddin Labay El-Yunusy, seorang cendekiawan muda yang cerdas.
Al Munir Al Manar hanya dapat bertahan selama enam tahun. Setelah itu muncul Majalah Al Bayan dan Al Itqan yang dibentuk para Ulama.
Selanjutnya Dr. Abdul Karim Amrullah menerbitkan Majalah yang bernama Al Basyir yang tidak bertahan lama. Di Bukittinggi terbit pula Majalah Dunia Akhirat yang dipimpin Sain Al Maliki tahun 1923 sampai 1926. Ulama golongan tua di Payakumbuh menerbitkan Majalah Al Imam di bawah pimpinan Syekh Haji Abbas Padang Japang.
Majalah tersebut semuanya berusia pendek karena kekurangan dana, tidak dikelola secara profesional dan hanya dimaksudkan sebagai media dakwah bukan lembaga bisnis.
Setelah itu banyak media Islam yang bermunculan yang dikelola oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia.
Di Padang, di samping Majalah Al Bayan dan Al Itqan juga ada Majalah Medan Rakyat, Raya, Matahari Islam, dan Tafsir Qur’an yang kemudian dijadikan buku dengan nama “Tafsir Qur’an Mahmaud Yunus”. Di Jawa dan Kalimantan terbit banyak Majalah Islam diantaranya Jong Islamieten Bond (JIB) menerbitkan An Nur.
Muhammadiyah menerbitkan Penyiar Islam, Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah, Suara Aisyiyah. Di Bandung diterbitkan media Pembangkit, Al Hidayah, dan Aliran Muda. Persatuan Islam (Persis) menerbitkan Majalah Al Lisan, Al Fatwaa, Pembela Islam, dan At Taqwa (berbahasa Sunda).
Di Kota Solo terbit Majalah Adil, Islam Raya, Aa Siasah. Di Yogyakarta terbit pula Qur’an Tarjamah Melayu, Penganjur, Mutiara oleh Muhammadiyah dan Islam Bergerak. Di Surabaya terbit Majalah Al Jihad, Al Islam, Berita Nahdatul Ulama.
Di Medan terbit Suluh Islam oleh Abdul Wahid dan KH Abdul Majid Abdullah, kemudian Majalah Medan Islam oleh Al Jamiyatul Washliyah, Dewan Islam diterbitkan oleh M. Arsyad Thalib Lubis, Menara Putih oleh H.R Rasuna Said.
Di Medan juga terbit Majalah yang lebih besar yaitu Pedoman Masyarakat yang diasuh oleh Buya HAMKA dan H Mohammad Yunan Nasution (aktivis Pemuda Muslim Indonesia/PMI, Wartawan Muslim Indonesia/Warmusi, dan MASYUMI) dan Panji Islam yang diasuh oleh Zainal Abidin Ahmad (mantan Wakil Ketua Parlemen RI, mantan Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan penulis sejarah Islam) dan A.R Hadjat.
Panji Islam dan Pedoman Masyarakat adalah yang terbesar di antara Majalah-Majalah yang terbit di Medan waktu itu. Majalah tersebut memuat tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh terkenal seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Buya HAMKA, M. Yunan Nasution, Ali Hasyimi.
Selain itu, terbit juga media Islam bernama Panji Masyarakat. Panji Masyarakat adalah media massa Islam yang tertua, paling besar dan berpengaruh. Majalah ini diterbitkan untuk pertama kali pada tanggal 15 Juni 1959 dengan pendirinya KH Fakih Usman (tokoh Muhammadiyah) sebagai pemimpin umum dan Prof. Dr. HAMKA, Yusuf Abdullah Puar sebagai pemimpin redaksi dan H. Yusuf Ahmad sebagai pemimpin usaha.
Pendiriannya diilhami oleh usaha untuk menghidupkan kembali Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Akan tetapi Media Panji Masyarakat ini terhenti akibat dibredel karena memuat tulisan Dr. Mohammad Hatta dengan judul “Demokrasi Kita” yang menggugat kehidupan demokrasi pada masa Demokrasi Terpimpin era Orde Lama.
Setelah Orde Lama tumbang, Panji Masyarakat terbit kembali di bawah pimpinan Dr. HAMKA dengan Motto “Majalah penyebar imu pengetahuan dan kebudayaan untuk dakwah dan pembangunan umat.” Selanjutnya tahun 1986 terbit media massa “Amanah”. Amanah ini adalah Majalah wanita Islam yang pertama kali disebarluaskan secara umum. Kemudian terbit media Islam bernama “Pelita” dalam bentuk surat kabar dengan tampilan menarik dan berkualitas.
Penerbitan seluruh media Islam tersebut terhenti ketika Jepang menduduki Nusantara. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, media Islam belum muncul lagi karena tokoh dan rakyat Indonesia disibukan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah kondisi Indonesia stabil, media Islam kembali bermunculan seperti media Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiyah, dan Berita NU.
Pada masa ini, media masa Islam berkembang sangat pesat, media massa Islam diterbitkan oleh organisasi dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, diterbitkan juga oleh lembaga swsata seperti MUI, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.