Pengertian, Hukum, dan Rukun Itikaf
Ditulis pada: April 08, 2022
Pengertian Itikaf
Itikaf merupakan salah satu ibadah yang istimewa. Terlebih pada 10 hari terakhir Ramadhan. Itikaf (إعتكاف) berasal dari kata ‘akafa (عكف) yang berarti al habsu (الحبس) yaitu mengurung diri atau menetap. Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah, pengertian itikaf secara bahasa adalah berada di suatu tempat dan mengikat diri kepadanya.
Sedangkan menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, pengertian itikaf secara bahasa adalah berdiam dan bertaut pada sesuatu, baik maupun buruk secara terus menerus. Penggunaan kata tersebut untuk sesuatu yang buruk misalnya kita dapati dalam Surat Al A’raf ayat 138.
Secara istilah, pengertian itikaf adalah berdiam diri dan menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
…Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri) dalam kondisi kalian sedang melakukan itikaf di masjid… (QS. Al Baqarah: 187)
Hukum Itikaf
1. Wajib
Itikaf menjadi wajib apabila bernadzar. Misalnya ia mengatakan, “Jika aku sembuh dari penyakit ini, aku bernadzar akan beri’tikaf selama tiga hari.” Maka beri’tikaf tiga hari itu menjadi wajib baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan pada Allah, hendaklah dipenuhi nazar itu.” (HR. Bukhari)
Bahkan meskipun nadzarnya itu terjadi pada masa jahiliyah. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengalaminya.
أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Umar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, dulu aku di masa jahiliyah pernah bernadzar untuk beritikaf satu malam di masjidil haram.” Rasulullah lantas bersabda, “Maka penuhilah nadzarmu itu.” (HR. Bukhari)
2. Sunnah
Sunnah merupakan hukum asalnya, terutama pada malam-malam Ramadhan. Itikaf secara suka rela untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah termasuk yang sunnah ini. Namun hukumnya sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan ini.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa itikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan Allah. Kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah beliau wafat.” (HR. Bukhari)
3. Makruh
Jika seorang wanita yang beri’tikaf dapat menggerakkan syahwat para laki-laki, seperti wanita muda dan aman dari fitnah. Adapun jika tidak aman dari fitnah, maka hukumnya haram.
4. Haram dan sah i’tikafnya, yaitu i’tikafnya seorang isteri tanpa izin suaminya
5. Haram dan tidak sah i’tikafnya, yaitu itikaf seorang wanita yang sedang berhadats besar atau wanita yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun Itikaf
1. Niat
Maka wajib atas orang yang ingin beri’tikaf untuk berniat dan jika tidak berniat maka tidak sah i’tikafnya, dan tidak dapat pahala, karena itikaf memerlukan niat.
Contoh Niat Itikaf Biasa :
نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هَذَا الْمْسْجِدِ مَا دُمْتُ فِيْهِ للهِ تَعَالَى
Yang artinya: “Aku Berniat itikaf dalam masjid ini selama aku berada di dalamnya karena Allah SWT”.
Contoh Niat Itikaf Nadzar:
نَذَرْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ …… فَرْضًا للهِ تَعَالَى،
نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ الْمَنْذُوْرَ
Yang artinya: “Saya bernadzar untuk itikaf di dalam masjid……(menyebutkan berapa lama) karena Allah SWT, aku berniat melaksanakan itikaf yang aku nadzarkan”.
2. Berdiam Di Dalam Masjid Lebih Dari Tuma’ninah Dalam Shalat
Kadar tuma’ninah disini adalah kadar tuma’ninah dalam shalat, yaitu kadar membaca : سُبْحَانَ اللهِ , maka tidak sah jika mondar mandir begitu saja tanpa berhenti sejenak atau dengan hanya menyeberang saja, baik berdiamnya dalam keadaan duduk atau berdiri, sah i’tikafnya.
3. Di Dalam Masjid
Itikaf tidak sah jika dilakukan di halaman Masjid, baik Masjid itu di pakai untuk shalat jum’at atau tidak Dan itikaf juga tidak sah jika dilakukan di Musholla, di Madrasah atau di rumah, harus di masjid.
Waktu Itikaf
Itikaf wajib harus dilakukan sesuai dengan kewajibannya. Jika ia bernadzar beritikaf semalam, maka waktu itikafnya adalah semalam. Jika ia bernadzar beriktikaf tiga hari tiga malam, maka waktu itikaf baginya adalah tiga hari tiga malam.
Itikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan hanya berlaku pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Yakni mulai ketika matahari terbenam pada malam ke-21 (atau ke-20 jika Ramadhannya 29 hari) sampai habisnya Ramadhan, yakni saat matahari terbenam malam hari raya Idul Fitri. Lebih afdhal (utama) jika ia meneruskan hingga shalat idul fitri dan baru meninggalkan masjid setelah shalat idul fitri.
Adapun waktu itikaf sunnah yang suka rela, ia tidak dibatasi. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, meskipun waktunya singkat, seseorang yang berdiam diri di masjid dengan niat itikaf maka itu termasuk itikaf. Namun menurut mazhab Maliki, waktu beritikaf minimal adalah sehari semalam.
Menurut mazhab Syafi’i, waktu itikaf minimal adalah bisa disebut menetap atau berdiam diri di masjid. Yaitu lebih panjang dari ukuran waktu tuma’ninah saat ruku’ atau sujud.
Jadi menurut mazhab Syafii, Hanafi dan Hanbali, seseorang yang itikaf satu jam atau bahkan hanya setengah jam pun boleh.
Sehingga bagi yang tidak bisa beritikaf penuh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ia bisa beritikaf sebagiannya. Misalnya datang ke masjid menjelang shalat isya’ dan beritikaf sampai Subuh. Atau bahkan datang ke masjid beberapa jam sebelum shalat Subuh dan beritikaf sampai Subuh atau pagi hari.
Tempat Itikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat itikaf adalah di masjid. Sehingga tidak boleh beritikaf di mushala di dalam rumahnya sendiri, kecuali wanita menurut mazhab Hanafi. Yang menjadi perbedaan pendapat adalah, masjid mana yang boleh menjadi tempat itikaf.
Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, tempat itikaf adalah masjid jamaah. Yaitu masjid yang di dalamnya didirikan shalat berjamaah.
Menurut mazhab Maliki, tempat itikaf adalah semua masjid. Tidak boleh beri’tikaf di masjid rumah yang tertutup untuk orang umum. Demikian pula menurut mazhab Syafi’i, tempat itikaf adalah seluruh masjid. Dan lebih utama masjid jami’, yaitu masjid yang dipakai untuk Sholat Jumat.
Namun dalam kondisi pandemi, jika suatu daerah tingkat penyebaran wabah covid-19 masih tinggi sehingga masjid tidak menyelenggarakan itikaf, boleh melakukan itikaf di mushala rumah.
Sebagaimana pendapat Madzhab Hanafi yang membolehkan wanita itikaf di mushala rumahnya dan pendapat sebagian kalangan Maliki dan Syafi’i yang membolehkan itikaf di mushala rumah sebagaimana dijelaskan dalam Syarh az Zurqani ‘alal Muwaththa’. Meskipun dalam kondisi normal, pendapat itu merupakan pendapat yang lemah.
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا ، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا ، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau akan memilih paling ringan di antara keduanya, selama itu tidak berdosa. Jika itu berdosa, maka beliau adalah manusia yang paling menjauh darinya. (HR. Bukhari).
Yang Membatalkan Itikaf
Hal-hal yang membatalkan itikaf, yaitu:
- Murtad.
- Sengaja keluar dari masjid (tempat itikaf) walaupun sebentar, tanpa adanya udzur syar’i.
- Hilang akal karena gila atau mabuk.
- Datangnya haid atau nifas.
- Jima’ meskipun karena lupa atau dipaksa.
- Keluar mani baik karena mimpi atau disengaja.
- Melakukan dosa besar.