|
Mengapa Imam Al Ghazali Tidak Berjihad Melawan Pasukan Salib ? |
KULIAHALISLAM.COM - Prof. Dr. Ali Muhammad Ash Shallabi dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Seljuk menyatakan : Dinasti Seljuk mampu merebut kembali wilayah Syam secara keseluruhan dari kekuasaan pasukan Byzantium. Tidak hanya itu, Dinasti Seljuk di Turki mampu memperluas kemenangannya ke Asia kecil menawan Kaisar Byzantium dalam sebuah pertempuran terkenal bernama Manzikert.
Ini merupakan pertempuran pertama dalam sejarah perang berkepanjangan antara Islam dan Byzantium. Hanya saja pada permulaan tahun 490 Hijriah perang ini mulai berubah coraknya menjadi perang salib. Pasukan Salib berhasil menguasai sejumlah wilayah kekuasaan Islam terutama Baitul Maqdis.
Prof. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al Imam Al Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi menyatakan Pasukan Salib mengalirkan banyak darah dalam penaklukannya, membunuh kurang lebih enam puluh ribu jiwa penduduknya dan menyebabkan umat Islam tercerai berai menghadapi serangan keji ini.
Hanya saja dengan kebiadaban dan kekejaman serangan pasukan salib ini, Imam Al Ghazali tidak terdengar suaranya. Padahal beliau adalah seorang Ulama yang seruannya didengar dan dihormati, memiliki kemampuan bahasa yang menyentuh hati dan hujjah yang kuat.
Apa yang membuatnya tidak memperbincangkan tentang Al Jihad ? Mengapa Imam Al Ghazali tidak menggerakan masanya sebagaimana yang dilakukan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Abdul Qadir Al Jailani, Ibnu Asakir ? Para Ulama kontemporer memberikan pandangannya terhadap sikap diam Imam Al Ghazali terhadap Perang Salib.
Pendapat Dr. Zaki Mubarak
Dr. Zaki Mubarak, seorang Ulama kontemporer dalam bukunya Al Akhlak ‘inda Al Ghazali menyatakan penyebab Imam Al Ghazali tidak ikut serta dalam Perang Salib karena Imam Al Ghazali sedang berkonsentrasi dalam ibadahnya, ia tenggelam dalam meditasi dan isolasi dirinya tanpa mengetahui apa yang harus dilakukannya dalam dakwah dan jihadnya.
Pendapat Dr. Umar Faruq
Adapun Dr. Umar Faruq dalam bukunya Abu Hamid Al Ghazali wa At Tashawwuf menyatakan : Sebelumnya, kaum Sufi berkeyakinan bahwa Perang Salib merupakan hukuman bagi umat Islam atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Bisa jadi Imam Al Ghazali memiliki keyakinan yang sama seperti ini.
Prof. Ali Muhammad Ash Shallabi, pakar sejarah Islam membantah pernyataan Dr. Umar Faruq tersebut dengan menyatakan bahwa tidak bijak menggeneralisasikan bahwa Sufi tidak ikut serta dalam Jihad, bahkan sebagain besar mereka ikut akif dalam perjuangan melawan kaum Salib.
Abdul Qadir Al Jazairi merupakan tokoh besar Sufi yang menjadi pemimpin perjuangan pertama melawan Prancis di Aljazair, begitu juga Ahmad Syarif As Sanusi dan Umar Al Mukhtar yang menjadi gerakan jihad di Libya merupakan tokoh Sufi.
Di samping itu kaum Sufi juga berperan aktif pada masa sekarang melawan penajajahan Amerika di Irak. Permasalahan yang sebenarnya adalah bahwa kaum Sufi yang berjihad merupakan pengikut tasawuf Sunni yang berdiri di atas prinsip-prinsip keyakinan dan pemikiran ahlu sunnah seraya memperbanyak ibadah, berdzikir dan zuhud.
Akan tetapi tasawuf yang menyimpang dan berdiri di atas penyembahan jenazah dan mensakralkan tokoh-tokoh, melaksanakan bid’ah, merupakan kaki tangan para penjajah.
Pendapat Yusuf Al Qardhawi
Prof. Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya Al Ghazali baina wa naqidihi menyatakan : Bisa jadi sikap diam Imam Al Ghazali semacam ini karena sibuk melakukan reformasi secara intern terlebih dahulu dan bahwa kerusakan dalam negeri itulah yang mendorong terjadinya serangan dari pihak luar.
Hal ini sebagaimana yang ditunjukan dalam permulaan surat Al Isra’, dimana setiap kali bani Israil melakukan kerusakan di muka bumi, maka musuh-musuh mereka menguasai mereka. Setiap kali mereka baik, maka dikembalikanlah kekuasaan mereka sebelumnya.
Visi dan misi terbesar Imam Al Ghazali adalah memperbaiki sikap dan perilaku individu, yang merupakan nukleus masyarakat. Perbaikan individu hanya dapat dilakukan dengan perbaikan hati dan pemikirannya.
Dengan strategi ini, maka perbuatannya dan perilakunya akan menjadi baik dan aktivitas kehidupannya secara keseluruhan membaik. Inilah prinsip utama perubahan sosial. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sutau kaum sehingga mereka merubah keadaan yanga ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d : 11), termasuk didalamnya reformasi para pemimpin dengan memberikan nasihat dan pengarahan yang baik kepada mereka. Dan Allah Maha Mengetahui sikap diamnya Imam Al Ghazali.
Pendapat Dr. Majid Irsan Al Kilani
Dr. Majid Irsan Al Kilani dalam bukunya Al Imam Al Ghazali dan Hakadza Zhahara Jil Shalah Ad Din menyatakan : Mengenai masalah jihad, Imam Al Ghazali membahasnya dalam sebuah tema besar Al-Amr bi Al Ma’ruf Wa An-Nahy ‘an Al Munkar.
Imam Al Ghazali menganggap jihad merupakan salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar. Sikap Imam Al Ghazali terhadap jihad memberikan dua pengertian penting.
Pertama, pengertian jihad menurut Imam Al Ghazali bukanlah membela dan mempertahankan orang-orang, kelompok, negara ataupun harta benda melainkan mengemban misi untuk amar makruf nahi mungkar. Amar makruf inilah yang merupakan faktor sebenarnya yang mendorong umat Islam untuk tampil dalam panggung dunia.
Selama masyarakat pada zaman Imam Al Ghazali enggan mengemban tugas dan kewajiban beramar makruf nahi mungkar sehingga membiarkan kemungkaran mewabah dimana-mana sehingga banyak generasi muslim yang tidak memiliki keperibadian dalam berpakaian, makan, minum dan pernikahan.
Sebagaimana yang dikatakan ahli sejarah bernama Abu Syamsah “seruan apapun untuk berperang secara militer tidak akan berguna kecuali didahului dengan perjuangan melawan diri sendiri oleh kaum tersebut dengan segenap kemampuannya hingga mereka bisa merasakan arti penting dan pengorbanan jiwa dan harta benda di jalan Allah.
Kedua, Imam Al Ghazali benar-benar memahami pengertian jihad yang menyeluruh dan fase-fase yang harus dilalui. Jihad melalui tiga bentuk : jihad pendidikan, jihad sistem, dan jihad militer. Pemahaman yang benar dan penanganan yang baik terdapat ketiga bentuk jihad ini serta menjaganya merupakan salah satu bentuk hikmah dimana Allah menjadikannya sebagai langkah pertama dakwah kepada-Nya.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS. An-Nahl :125).
Seruan berjihad dalam bentuk pengerahan pasukan militer dan menyerukan kepada masyarakat yang telah mati naluri perjuangannya dimana pemikiran-pemikiran dan kepribadian mereka bermuara di sekitar kematian (tidak memiliki semangat juang beramar makruf nahi mungkar), maka sama halnya menyerukan perang kepada jenazah-jenazah yang sudah terkubur.
Pemaparan ini bisa menjadi jawaban terhadap serangan yang dilancarkan kepada Imam Al Ghazali yang dituduh mengasingkan diri dari berbagai permasalahan dunia Islam.
Ruang lingkup reformasi Islam Imam Al Ghazali membuktikan dengan jelas bahwa tokoh kenamaan ini lebih memilih permulaan jihad pada bidang pendidikan pada umatnya yang sedang mengalami kemalasan dan enggan untuk berjuang, nilai-nilai kemungkaran telah menyelimuti umat sehingga semakin menjauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Strategi Imam Al Ghazali ini dimaksudkan sebagai upaya pendahuluan untuk menyerukan atau mendorong para pemimpin negara dan komandan militer yang bertanggung jawab menggerakan jihad struktural atau sistem dan kemiliteran yang membawa bendera amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah dengan sepenuh jiwa mereka.
Imam Al Ghazali juga melancarkan kritikan terhadap para penguasa yang zalim, memerangi kehidupan materialisme yang berlebihan, menyerukan penegakan keadilan sosial dan memerangi berbagai aliran kepercayaan dan pemikiran yang menyimpang.
Pendapat Dr. Adian Husaini (Peneliti INSISTS)
Dr. Adian Husaini memberikan uraian tentang hal ini dalam artikelnya yang berjudul Al Ghazali, Perang Salib dan Kebangkitan Islam yang dimuat di INSISTS.id, lebih lengkapnya pernyataan beliau dapat dilihat di INSISTS.id namun dari uraiannya itu ia berkesimpulan bahwa Imam Al Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib.
Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak mendapatkan banyak sambutan. Karena itu, para ulama seperti Al Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.
Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar-benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad.
Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya' Ulumuddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah Al Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, Al Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Hati manusia harus dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan keseimbangan (Keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami menciptakankan besi yang memiliki kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan mengetahui Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS Al-Hadid: 25).
Di masa hidupnya, Al Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, Al Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Such.
Di sanalah Al Ghazali membangun satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti Al Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin Al Ayyubi. Bukan seorang Shalahuddin, satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin hanya Kota Suci Yerusalem dari cengkraman Pasukan Salib.
Sumber : Prof. Ali Muhammad Ash Shallabi dalam bukunya "Bangkit dan Runtuhnya Bani Seljuk", terbitan Pustaka Al Kautsar dan INSISTS.id serta berbagai sumber lainnya.