Hikmah Disyariatkannya Maskawin dalam Pernikahan
Ditulis pada: Januari 26, 2022
Maskawin dalam Pernikahan |
KULIAHALISLAM.COM - Dalam sebuah pernikahan, mahar atau maskawin menjadi salah satu hal paling utama yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki pada istrinya. Maskawin bukanlah pembelian atau ganti rugi, melainkan adalah hak seorang perempuan atas laki-laki pada waktu melangsungkan akad pernikahan.
Karena itu, wajib hukumnya untuk memberikan maskawin terhadap istrinya, kendati bukan termasuk bagian dari rukun pernikahan. Juga, maskawin sebagai lambang atau tanda cinta seorang calon suami terhadap calon istrinya, sekaligus membuktikan bahwa ketulusan atau kesiapan calon suami untuk membina kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya. Baik dalam keadaan suka maupun duka.
Perihal kewajiban membayar maskawin ini, Allah menegaskan dalam beberapa ayat Alquran. Misalnya, QS. An-Nisa’ ayat 4, yaitu:
وَآتُوا النِّسآءَ صَدُ قتِهنَّ نِحْلَةً فاِنْ طِبْنَ لكم عن شيءٍ منه نفساً فَكُلُوهُ هَنِيئا مَرِيئا
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (QS. An-Nisa’: 4)
Walau begitu, terdapat beberapa hikmah dibalik pensyariatan (kewajiban) membayar maskawin dalam pernikahan terhadap seorang perempuan. Menurut Djaman Nur, dengan disyariatkannya maskawin tidak lain adalah bentuk penghargaan Islam akan kedudukan dan martabat seorang perempuan. Juga, memberikan hak dan wewenang bagi seorang perempuan untuk mengelola harta atau dirinya sendiri. (Djaman Nur, Fiqih Munakahat, hal. 83)
Sementara Wahbah al-Zuhailiy menyatakan, bahwa hikmah pemberian maskawin dalam prosesi pernikahan kepada pihak perempuan adalah sebagai tanda akan terbentuknya keluarga Mawaddah yang akan ditegakkan secara bersama-sama oleh kedua belah-pihak (suami-istri). Pun, sebagai simbol rasa cinta serta kasih sayang seorang suami terhadap istrinya. (Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqa’idah wa Syari’ah wa Manhaj, Juz III, hal. 235)
Hikmah Membayar Maskawin
Menurut Umar Sulaiman al-Asyqar, hikmah pensyariatan kewajiban membayar maskawin dalam pernikahan antara lain adalah:
Pertama, untuk menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, karena keduanya saling membutuhkan.
Kedua, sebagai upaya untuk memberikan penghargaan terhadap sosok seorang perempuan, maksudnya bukan sebagai alat tukar yang mengesahkan pembelian.
Ketiga, untuk menjadi pegangan bagi seorang istri; bahwa perkawinan atau pernikahan mereka telah diikat dengan pernikahan yang kuat, sehingga sang suami tidak mudah menceraikan istrinya sewenang-wenang.
Keempat, sebagai suatu kenangan dan pengikat rasa kasih sayang antara suami-istri.
Kelima, menunjukkan arti penting dan kedudukan sebuah akad nikah, serta upaya untuk menghargai dan memuliakan seorang perempuan. (Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam al-Zawaj fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, hal. 24)
Dari sini, jelas bahwa maskawin bukan sekadar pemberian yang hukumnya wajib bagi seorang calon suami terhadap calon istrinya. Akan tetapi lebih dari itu, yakni upaya Islam untuk menghargai keberadaan perempuan dengan cara mengangkat harkat, derajat, dan martabatnya.
Mengingat, adanya stigma negatif perihal status kedudukan seorang perempuan; yang acapkali diposisikan sebagai makhluk nomor dua, direndahkan, dan bahkan tidak dihargai dalam kancah kehidupan sosial-politik.
Lebih dari itu, ketika dihadapkan dengan seorang laki-laki, perempuan tidak lebih dari sekadar pelengkap penderitaan. Juga kerap kali dijadikan obyek daripada subyek. Dalam konteks sejarah, perempuan sering kali menjadi korban mitologi, ketidaknyamanan pada saat hamil, dan rasa sakit yang dialami ketika melahirkan.
Hal ini dianggap sebagai hukuman atas dosa pertama (dosa Hawa). Itulah mengapa dari zaman dahulu hingga sekarang, muncul tindakan misoginis terhadap sosok seorang perempuan.
Ironisnya, stigma tersebut mendapat sokongan dari doktrin teologis, tidak terkecuali dalam Islam sendiri. Seperti, masih terdapat sebagian para pemikir Islam dan ulama yang kerap memosisikan kaum laki-laki (superior) daripada kaum perempuan (inferior). Baik dalam hal kepemimpinan, agama maupun spiritual, dan lain-lain.
Di tengah sosio-kondisi seperti inilah, Islam hadir dengan membawa angin segar, terutama bagi kaum perempuan. Bahkan, sejak kedatangannya Islam berupaya mengkritik atas pelbagai hal yang dianggap tidak manusiawi (memanusiakan manusia). Salah satunya adalah mengakarnya budaya patriarki di kalangan umat manusia.
Jadi, dengan diwajibkannya membayar maskawin terhadap seorang perempuan pada waktu hendak melangsungkan akad nikah, adalah upaya Islam untuk mengangkat harkat, derajat, dan martabat seorang perempuan.
Juga sebagai jalan menghapuskan budaya patriarki yang telah mengikat sejak lama pada diri seorang perempuan. Di sinilah letak emansipatoris Islam dan keberpihakannya terhadap kaum lemah yang tertindas. Pun, menunjukkan sifat Rahmatan Lil ‘Alamin-Nya bagi seluruh umat manusia di alam semesta ini. Wallahu A’lam