Harimau dan Kucing
Ditulis pada: Juni 15, 2020
Sang harimau berembuk (diskusi) dengan kaki-tangannya (pembantu dekatnya), yaitu sang serigala sebagai kaki dan sang musang sebagai tangan. Perembukaan itu mengenai perihal pembagian hasil buruan: kerbau hutan, kambing hutan dan ayam hutan. Pertama-tama sang harimau minta pendapat sang serigala.
"Menurut hemat saya, kerbau hutan untuk sampeyan, kambing hutan untuk saya dan ayam hutan untuk saderek musang," sang serigala mengemukakan pendapatnya.
"Oh, begitu," kata sang harimau, dan bersamaan dengan itu ia menampar kepala sang serigala. Dapat dibayangkan hasil tamparan harimau, karena apabila ia menampar bukan hanya sekadar dengan telapak kaki, melainkan sepuluh kukunya pun tersembul keluar. Barangkali itulah mengapa ada pepatah yang berbunyi: “Ibarat harimau yang menyembunyikan kukunya”.
"Lalu bagaimana pendapat sampeyan?", ujar sang harimau kepada sang musang setelah selesai menampar sang serigala.
"Kalau menurut pertimbangan saya, kerbau hutan itu untuk lunch sampeyan (anda), kambing hutan untuk dinner sampeyan, dan ayam hutan untuk breakfast sampeyan, atau boleh juga dijadikan sebagai kudap (makanan ringan) sampeyan. Adapun untuk sedherek (saudara) serigala dan saya sudah cukup dengan melahap serpihan sisa-sisa sampeyan."
Dengan gembira sang harimau menerima saran sang musang sambil berkata: "Man 'allamaka hadzal-fiqh? (Siapa yang mengajarkan sampeyan ilmu fiqh ini?)".
"Dari tamparan sampeyan atas kepala sedherek serigala", jawab sang musang tersipu malu.
***
Lantas, dari mana gerangan harimau belajar menyembunyikan kukunya dan menampar? Menurut penuturan nenek saya, harimau itu belajar ilmu dan berbagai keterampilan kepada kucing: mengintai, mengendus, menerkam, mengejar, melompat jauh, termasuk menampar sambil mengeluarkan kukunya, serta berlari dan melompat sambil menggonggong mangsanya. Kata gonggong adalah homonim, bermakna ganda, bisa bermakna membawa dengan gigi (untuk harimau dan kucing), bisa bermakna menyalak (untuk anjing).
Alkisah, harimau menuntut agar semua ilmu dan keterampilan gurunya itu diajarkan semua kepadanya, karena menurutnya keterampilan memanjat belum diajarkan kepadanya. Namun kucing tidak bersedia mengajarkannya. Dengan terus terang kucing menjelaskan, bahwa bagaimanapun juga sebagai guru harus lebih pintar dari muridnya, karena badannya kecil, tenaganya tidak sekuat harimau. “Wie niet sterk is, moet slim zijn” (dia yang tidak kuat, harus cerdik), kata kucing mengutip sebuah pepatah Belanda.
Mendengar penjelasan kucing, maka marahlah harimau. Ia melompat hendak menerkam kucing. Namun kucing sudah mengantisipasinya, sehingga dengan gesit ia melompat ke atas pohon menyelamatkan dirinya. Dengan geram harimau berkata: "Hai kucing, ini bukan ancaman, melainkan janji, saya akan cari terus ke mana engkau pergi untuk membunuhmu, bahkan kotoranmu pun kalau kutemui akan kubunuh pula."
Maka dari itu, hingga sekarang ini kucing hampir selalu menimbun kotorannya dengan tanah, khawatir kotorannya akan dibunuh oleh muridnya yang tak tahu di untung itu, murid yang tidak berterima kasih kepada gurunya, murid yang tidak menghormati gurunya. Itulah sebabnya harimau menjadi perlambang bagi orang yang perbuatannya jahat, yang diperibahasakan: “Harimau mati meninggalkan belang”. Kata belang berkonotasi jelek, seperti ungkapan: “Sudah ketahuan belangnya” (sudah ketahuan jeleknya).
***
Sifat jelek harimau barangkali wajar-wajar saja karena harimau itu memang binatang. Lalu sebagai manusia, apakah tidak malu berkelakuan sebagai binatang? Menghina gurunya, membangkang perintahnya, mengaktualisasikan keadilan dalam wujud keserakahannya, mau melahap harta sebanyak-banyaknya yang notabene-nya adalah bukan milik pribadi, melainkan milik orang banyak?