Skip to main content

Wanita Haid Boleh Baca Al-Qur'an! Tapi.....!!!!



Orang Haidh Baca Al Qur’an?

Jumhur Fuqaha berpendapat tentang haramnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh hingga ia suci kembali. Hukum ini berlaku secara umum, kecuali jika bacaan Al-Qur’an dimaksudkan untuk dzikir dan doa tanpa ada maksud tilawah. Seperti ucapan, “Bismillahir rahmanir rahim”, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’un”, “Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah….”, ataupun ucapan-ucapan lain terdapat dalam Al Qur’an yang termasuk dzikir secara umum, maka ini diperbolehkan.

Pendapat Yang Melarang

Sebagian ulama melarang wanita haidh membaca Al Qur’an dengan dalil-dalil berikut:

- Hukum junub seluruhnya diwajibkan untuk mandi, terdapat hadits shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajari mereka Al Qur’an selama tidak junub.[1]

- Hadits dari Ibnu Umar berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wanita haidh dan orang junub tidak boleh membaca sesuatu dari Al Qur’an.”[2]


Pendapat Yang Membolehkan

Sebagian ulama membolehkan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan ini adalah madzhab Malik, satu riwayat dari pendapat Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, serta dirajihkan oleh Imam Asy Syaukani. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut:

- Hukumnya asalnya adalah boleh dan halal hingga tegaknya dalil yang melarang, sedang disana tidak ada dalil yang melarang wanita haidh untuk membaca Al Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada dalil yang tegas dan shahih atas pelarangan wanita haidh membaca Al Qur’an.” Beliau juga berkata, “Telah diketahui bahwa wanita-wanita pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga mengalami haidh, tapi beliau tidak pernah melarang mereka untuk membaca Al Qur’an. Sebagaimana beliau tidak melarang mereka dari dzikir dan doa.”

- Allah Ta’ala memerintahkan untuk membaca Al Qur’an. Dan memuji pembacanya serta menyediakan pahala berlimpah dan balasan yang agung baginya. Allah tidak melarang hal itu kecuali bagi yang telah ada dalilnya (seperti orang junub-pent), sedangkan disana tidak ada dalil yang melarang wanita haidh.

- Pen-Qiyasan wanita haidh dengan orang junub adalah Qiyas Ma’al Faariq (Pen-Qiyasan yang berbeda dan tidak sejalan), sebab orang yang junub bisa meghilangkannya jika ia mau dengan mandi, sedangkan orang yang haidh berbeda, kadang kala masa haidhnya panjang. Orang junub pun juga diperintahkan untuk mandi ketika hendak shalat.

- Pelarangan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh sama saja menghalangi pahala membacanya. Dan bisa jadi berakibat hilangnya sebagian dari hafalannya ataupun berseberangan tatkala dibutuhkan membacanya untuk mengajar dan belajar.


Kesimpulan

Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa dalil-dalil pendapat yang membolehkan sangat kuat. Sedang apabila seorang wanita ingin menjaga hafalan dan merasa cukup dengan membaca maka ia telah bersikap dengan sangat hati-hati.

Yang perlu diperhatikan juga bahwa masalah ini dikhususkan bagi wanita haidh membaca Al Qur’an dari hafalan. Adapun jika membacanya melalui mushaf maka hukumnya sudah berbeda. Yang rajih dari 2 pendapat ulama bahwa menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats hukumnya haram.

Hal ini berdasarkan keumuman ayat, “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79), juga berdasarkan surat Amr bin Hazm Radhiyallahu anhu yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada penduduk Yaman, bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.[3]


Karena itulah jika wanita haidh ingin membaca dengan mushaf maka hendaklah memegangnya dengan sesuatu yang membatasinya seperti sapu tangan yang suci atau sarung tangan. Dan hendaknya ia membolak-balikkan lembaran mushaf dengan kayu kecil atau pena. 

Adapun cover mushaf dan apa yang menempel di mushaf memiliki hukum yang sama dengan mushaf yaitu tidak boleh disentuh. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]


Demikian pula dengan wanita nifas juga diperbolehkan membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf. Demikian menurut pendapat paling shahih. [5]



Disajikan oleh: Muizzudien Abu Turob Hafizhahullah




[1] (HR. Abu Dawud 1/281, Tirmidzi, no.146, Nasa’i 1/144, Ibnu Majah 1/207, Ahmad 1/84, Ibnu Khuzaimah 1/104, Imam Tirmidzi: Hadits ini Hasan Shahih. Sedang Imam Ibnu Hajar: “Yang benar bahwa hadits hasan bisa dijadikan hujjah.”)
[2](HR. Tirmidzi no. 131, Ibnu Majah, no. 595, Ad Daruquthni 1/117, Al Baihaqi 1/89, dan ini adalah hadits DHOIF. Sebab hadits ini diriwayatkan oleh Isma’il bin Ayyasy dari orang-orang Hijaz, sedang riwayatnya dari mereka adalah DHOIF. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 21/460: “Itu adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ulama ahli hadits.” Lihat Nashbur royah 1/195, dan At Talkish Al Habir 1/183.)
[3](HR. Malik 1/199, Nasa’i 8/57, Ibnu Hibban, no.793, dan Baihaqi 1/87. Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Sekelompok ulama menshahihkan hadits tersebut dari sisi kepopulerannya.” Asy Syafi’i berkata, “Telah shahih menurut mereka (para ulama) bahwa itu memang surat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.” Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini adalah surat yang populer bagi ahli sejarah, dan dikenal di kalangan ulama, kemasyhurannya tidak membutuhkan sanad. Sebab itu hampir menyamai mutawatir sebagaimana yang diterima dan diketahui oleh masyarakat.” Syaikh Al Albani juga mengatakan shahih. (At Talkhis Al Habir 4/17, Nashbur Rooyah 1/196, Irwa’ Al Ghalil 1/158, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/159, Al Majmu’ 1/356, Kasysyaf Al Qana’ 1/147, Al Mughni 3/461, Nailul Authar 1/226, Majmu’ Al Fatawa 21/460, dan Asy Syarh Al Mumti’ 1/291)
[4](Lihat: Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Al Islamu Sual wa Jawab no. 2564)
[5](fatawa al Lajnah ad Daimah, no.3713 (IV/74))

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar