Wahdatul Wujud Konsep Yang Ingin Menyatu Dengan Tuhan
Ditulis pada: Februari 07, 2022
Wahdatul Wujud Konsep Tasawuf Filosofis Yang Menyatu Dengan Tuhan |
KULIAHALISLAM.COM - Wahdatul Wujud merupakan ilmu yang tidak disebarluaskan secara umum. Di Nusantara penganut Wahdatul Wujud adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum mati akibat pemahaman ini.
Prof. Harun Nasution dalam karyanya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam menyebutkan Wahdatul Wujud berarti kesatuan wujud (unity of existence). Wahdatul Wujud terbentuk dari pertemuan dimensi tasawuf dan filsafat.
Wahdatul Wujud dibawakan oleh Muhy al-Din Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol tahun 1156 Masehi. Tahun 1202 Masehi ia pergi ke Makkah. Ibnu Arabi telah menulis 200 buku diantaranya yang paling terkenal adalah kitab al-Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam.
Wahdatul Wujud berkeyakinan bahwa “Seluruh yang ada, walaupun ia nampak sebenarnya tidak ada dan keberadaannnya tergantung pada Tuhan sang pencipta. Yang nampak hanya dari bayang-bayang yang satu (Tuhan). Seandainya Tuhan tidak ada yang merupakan sumber bayang-bayang, yang lain pun tidak ada, karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki wujud adalah Tuhan.”
Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan dan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang. Paham ini tampaknya merupakan kelanjutan dari paham Hulul yang dibawakan Al-Hallaj.
Konsep Hulul Menurut Al-Hallaj
Hulul berarti pengalaman spiritual seorang Sufi sehingga ia dekat dengan Tuhan lalu Tuhan memilihnya kemudian Tuhan menyatu dengannya. Dalam Hindu pemahaman ini dapat diterima namun dalam Islam maka tentu saja para Ulama akan menolaknya.
Reynold A. Nicholson dalam karyanya The Mystics of Islam menyebutkan bahwa apapun istilah yang dipergunakan keadaan bersatu merupakan puncak dari proses penyederhanaan, di mana jiwa secara bertahap diisolasi dari hal-hal yang asing dengan dirinya sendiri kecuali terhadap Tuhan.
Tidak seperti nirwana yang semata-mata dianggap sebagai penghentian individualitas, maka “fana” dalam Sufi dianggap sebagai kelenyapan jika ditinjau dari peristiwa yang menyangkut masalah baqa yaitu keabadian dan kesinambungan yang nyata. Mereka yang meninggal untuk dapat hidup di dalam Tuhan dan fana, sebagai cara meninggalnya, merupakan tanpa tercapainya baqa atau menyatu dengan kehidupan Ilahi.
Pada permulaan abad kesepuluh, Husain ibn Mansur yang lebih dikenal sebagai Al-Hallaj telah meninggal secara mengenaskan di Baghdad. Ia dihukum mati sebab ia telah mengucapkan dua kata yaitu “Anna al-Haqq” artinya aku adalah kebenaran (Tuhan).
Nicholson menyatakan menurut Al-Hallaj “Manusia pada dasarnya memiliki sifat Ilahi, Tuhan menciptakan seluruh ciptannya termasuk Adam dari citra diri-Nya, citra dan cinta abadi-Nya hanya dimiliki oleh-Nya, bagaikan satu cermin. Karena itu, Dia memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepada Adam."
Al-Hallaj berkata dalam puisinya “Maha suci Tuhan yang telah menurunkan Kemanusiaan-Nya melalui Adam sebagai rahasia pancaran keilahian-Nya, kemudian mewujud pada mahluk-Nya yang makan dan minum (Yesus).”
Al-Hallaj dalam karyanya “Kitab al-Tawasin” berpuisi yang isinya sebagai berikut :
Jiwa itu tercampur ke dalam jiwaku ibarat anggur yang tercampur air murni. Apabila sesuatu menyentuh-Mu, akan pula menyentuhku. Wahai, di dalam segala hal Engkau adalah Aku dan lagi. Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah Aku. Kami adalah dua jiwa yang bersemayam dalam satu raga. Jika engkau melihatku maka engkaupun melihat Dia. Dan jika engkau melihat Dia, engkau akan melihat kami.”
Nicholson berkata bahwa doktrin menuhankan pribadi semacam ini tampaknya merupakan kelanjutan perkembangan dari doktrin Nasrani. Kaum Hulul yaitu mereka yang mempercayai doktrin inkarnasi ditolak oleh kaum Sufi dan Muslim yang beranggapan bahwa hal itu sangat berlebihan.
Al-Hallaj dihukum mati tetapi ia dihukum bukan karena melakukan dosa terhadap kebenaran tetapi ia dihukum karena tindakan yang dipandang bertentangan dengan hukum. Ia telah membuka rahasia Tuhan dengan mengumumkan segala yang dianggap sebagai misteri tertinggi yang seyogyanya hanya boleh diketahui oleh orang-orang yang terpilih saja.
Selanjutnya, Al-Hallaj berbicara di bawah pengaruh ketidaksadaran dari ekstase. Ini membayangkan bahwa dirinya telah bersatu dengan Ilahi padahal ia hanya bersatu dengan salah satu sifat Tuhan. Dalam keyakinan mereka, ketika ia berbicara “Anna al-Haqq” bukanlah Al-Hallaj pribadi namun Tuhan sendiri berbicara sebagai mana adanya sebagaimana Tuhan berbicara kepada Nabi Musa AS.
Keterangan terakhir yang mengubah aksioma monistik impersonal diterima sebagian besar Sufi sebagai perwujudan Al-Hallaj sejati. Salah satu Sufi yang menerima pemikiran ini adalah Jalaluddin Rumi.
Wahdatul Wujud Menurut Ibnu Arabi
Paham Hulul yang dibawakan Al-Hallaj diistilahkan Ibnu Arabi sebagai Al-Khalq dan Al-Lahut (Sifat Ketuhanan) menjadi Al-Haqq. Al-Khalq dan Al-Haqq adalah dua aspek yang terdapat pada segala sesuatu.
Al-Khalq adalah aspel luar dan Al-Haqq adalah aspek dalam. Harun Nasution berkata bahwa Khalq mempunyai sifat kemakhlukan dan Al-Haqq yang mempunyai sifat Ketuhanan. Dengan kata lain dalam setiap yang berwujud itu terdapat sifat Ketuhanan dan sifat kemakhlukan.
Segala sesuatu itu bergantung pada yang satu dan mutlak. Yang Satu ini merupakan sumber dari segala yang berwujud. Dialah Tuhan dan wujud sekitar Tuhan tidak ada. Tuhan-lah yang sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki dan yang lain mempunyai wujud nisbi serta bergantung pada wujud di luar dirinya yaitu Tuhan.
Dengan demikian, segala sesuatu itu sebenarnya tidak memiliki wujud, semuanya kemabali pada satu wujud yaitu wujud Tuhan. Hal itu tampak dari ungkapan Ibnu Arabi “Maha suci Zat yang menciptakan segala sesuatu dan Dia adalah esensi segala sesuatu itu.”
Paham Wahdatul Wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali Dia ingin melihat diri-Nya maka Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek Al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, tetapi yang ada sebanarnya hanya satu wujud yaitu Al-Haqq.
Perumpamaan Tuhan dengan ciptaan-Nya bagaikan seseorang yang melihat cermin disekelilingnya. Al-Qasani berkata “Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.”
Filsafat tentang keinginan Tuhan melihat diri-Nya dan agar dapat dikenali melalui ciptaan-Nya didasarkan pada Hadis Qudsi : “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi kemudian aku ingin dikenal, maka Aku ciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.”
Dalam mengartikan ini Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan tidak akan dikenal bila tidak menciptakan alam maka alam ini adalah penampakan dari Tuhan. Tuhan juga ingin mengenal diri-Nya sendiri dalam bentuk yang menampakan sifat-sifat dan nama-namanya secara detail dan sesempurna mungkin dalam cermin alam.
Dalam paham Wahdatul Wujud dikenal keberadaan Tuhan dalam kesendirian-Nya yang mutlak, tidak dikenal dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut “ama” atau “ahadiat”. Kemudian Tuhan berada dalam keadaan sifat-sifat-Nya yang potensial agar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Keadaan ini disebut “Huwiyyah”. Ia ingin dikenal dengan menciptakan alam.
Konsep Insan Kamil dalam Wahdatul Wujud
Pada mulanya Tuhan menciptakan Nur Muhammad (Hakikat Muhammad) atau Insan Kamil (manusia sempurna). Nur Muhammad ini merupakan dasar atau materi awal alam. Nur Muhammad-lah yang merupakan cerminan dan Tajali Tuhan pada setiap benda. Tajali terjadi ketika Tuhan berada dalam keadaan aniyah (Hakikat yang bersifat parsial) agar dapat dikenal.
Di atas telah dikatakan bahwa Tuhan ingin menampilkan dirinya secara sempurna dalam cermin tersebut. Namun, ternyata pada alam kebendaan tidak ditemukan kesempurnaan. Maka diciptakanlah manusia agar menjadi cerminan yang sempurna, seperti yang dinyatakan dalam Hadis “Dan diciptakanlah Adam seperti bentuk Tuhan”, (H.R Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di antara manusia yang sempurna untuk mentajalikan Tuhan adalah diri para Nabi dan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang paling mulia. Selanjutnya, Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW adalah dua istilah berbeda. Nur Muhammad merupakan sesuatu yang memancar dari Tuhan sebagai cerminan kesempurnaan bagi diri-Nya sehingga Ia dapat menampakan dirinya pada manusia.
Kesempurnaan yang paling sempurna hanya tampak pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai Insan Kamil. Nabi Muhammad SAW merupakan keseluruhan teofani nama keagungan Ilahi dan keseluruhan alam dalam kesatuannya sebagai penampakan diri Tuhan. Nabi Muhammad SAW adalah prototipe alam semesta dan manusia karena ia merupakan cerminan alam secara keseluruhan yang masing-masing dapat melihat yang lainnya.
Konsep Insan Kamil ini akan terus ada walaupun Nabi Muhammad SAW telah tiada. Akan dapat dicapai oleh para Sufi atau Wali yang telah membersihkan dirinya sehingga yang nampak dalam dirinya adalah aspek Al-Haqq-nya.
Paham Wahdatul Wujud ini dikelompokan ke dalam tasawuf filosofis. Hal ini disebabkan dari teori-teori yang banyak unsur-unsur filsafatnya seperti materi awal penciptaan Tuhan dan adapun unsur tasawufnya terdapat pada pemahaman penyatuan wujud segala sesuatu kepada Wujud Allah.
Dengan pemahaman Wahdatul Wujud ini, Ibnu Arabi mengembangkan penyatuan agama-agama (wahdatul adyan). Menurunya, sumber agama-agama adalah satu yaitu Nur Muhammad. Semua umat agamanya menyembah Tuhan yang satu dan menampakan diri dalam bentuk-bentuk yang mereka sembah dan tujuan ibadah sebenarnya adalah merealisasikan kesatuan zat yang mereka sembah.
Sumber : Prof. Harun Nasution dalam bukunya “Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, terbitan Bulan Bintang. Reynold A.Nicholson dalam bukunya “Mistik dalam Islam” terbitan Bumi Aksara dan Ensiklopedia Islam Jilid 5 Terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (Milik Negara Tidak Diperjualbelikan).