Sejarah Sayyid dan Syarif dalam Dunia Islam
Ditulis pada: Februari 18, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Sayyid berasal dari bahasa Arab yang berarti “tuan” atau “junjungan”. Dalam masyarakat Arab dikenal satu golongan yang menamakan dirinya “Golongan Sayyid” yaitu mereka yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya Fatimah Az-Zahra. Golongan Sayyid adalah keturunan Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yang laki-laki disebut Sayyid dan yang perempuan disebut Sayidah.
Adapun keturunan Nabi Muhammad SAW dari Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib disebut Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan yang arinya “Mulia”. Kata “Sayid” dan “Syarif” atau “Sayidah” dan “Syarifah” digunakan hanya sebagai atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Gelar bagi mereka adalah Habib untuk anak laki-laki dan Habibah untuk anak perempuan.
Mereka terbagi ke dalam delapan puluh keluarga (Kabilah) dan setiap keluarga mempunyai nama antara lain al-Aidrus, al-Haddad, Bafakih, al-Jufri, al-Qadri, al-Habsyi, asy-Syatiri, Bilfaqih, al-Attas dan lain-lain. Nama keluarga ini biasanya terdapat di akhir nama mereka yang menunjukan golongan Sayyid, umpamanya Muhammad bin Ahmad al-Haddad.
Mereka umumnya tinggal di Hadramaut yaitu daerah bagian Selatan Jazirah Arab termasuk wilayah Yaman. Golongan Sayyid gemar merantau dan pada umumnya menetap di berbagai negeri Islam antara lain di Indonesia dan banyak diantaranya yang telah menjadi warga negara Indonesia. Di antara keluarga-keluarga itu banyak yang mempunyai pimpinan secara turun-termurun yang bergelar ‘Munsib”.
Para Munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Semua Munsib diakui sebagai pemimpin agama oleh suku-suku yang tinggal di sekitar kediaman mereka. Di samping itu, mereka juga dianggap sebagai penguasa daerah tempat tinggal mereka.
Golongan Sayid pada umumnya memanfaatkan pengaruh mereka pada penduduk lain berdasarkan rasa hormat karena mereka mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula kekuasaan para Munsib atas anggota keluarganya dan suku-suku yang menganggap mereka pemimpin agama hanya bersifat moral.
Namun golongan Sayid merupakan penahan ampuh tekanan para penguasa dan berkat pengaruh merekalah Hadramaut pada abad pertengahan masih memiliki pemerintahan yang merdeka. Dengan demikian para Sayyid adalah golongan yang paling berkepentingan untuk mempertahankan kekuatan Hukum Islam.
Bagi kaum Sayyid ini, Hukum Islam yang melemah akan mengakibatkan hilangnya penghormatan rakyat yang percaya bahwa mereka adalah keturunan putri Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang golongan Sayyid di Hadramaut adalah Ahamd bin Isa (wafat 345 H/956 M).
Silsilah Sayyid adalah Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Najib bin Ali al-Uraidi bin Ja’far as-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali dan Fatimah Az-Zahra. Sayyid dari Hadramaut ini mengklaim bahwa kebangsawanan mereka lebih nyata daripada kebangsawanan keturunan Nabi Muhammad SAW yang lain.
Mereka di Hadramaut dapat dikatakan merupakan perwakilan agama dan hukum. Seorang Sayyid yang mendatangi suatu tempat berhak atas tempat terhormat. Di Hadramaut, perkawinan anak perempuan mereka dengan seorang laki-laki bukan Sayyid terlarang walaupun Islam tidak melarangnya.
Ada sejumlah kelurga Sayyid yang dianggap suci setara dengan Wali seedangkan yang lain dianggap termasuk golongan yang mempunyai kemampuan menebak pikiran orang lain dan meramal. Para Sayyid pada umumnya taat beribadah, terpelajar, dan melahirkan banyak Cendekiawan.
Namun banyak di antara mereka sangat konservatif, menentang setiap pembaharuan baik material maupun intelektual, terutama pembaharuan yang berbau Barat. Waktu kedatangan orang-orang Arab-Hadramaut ke Indonesia tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan perpindahan mereka mulai ramai sejak tahun 1870 ketika pelayaran dengan kapal uap antara Timur jauh dan Arab berkembang pesat, sehingga mempermudah kedatangan mereka.
Umumnya mereka hidup sebagai pedagang dan keadaan ekonomi mereka rata-rata baik. Ada beberapa Sultan di Indonesia yang berasal dari keturunan Arab, seperti keluarga Kesultanan Pontianak dari keluarga Sayyid Kabilah al-Qadri, Kesultanan Siak di Riau. Di Indonesia, masyarakat keturunan Arab terbagi atas golongan Sayyid dan bukan Sayyid.
Golongan Sayyid mendapat kedudukan yang tinggi walaupun ibu mereka bukan Sayyid ataupun keturunan Arab. Sayyid yang taat dianggap sebagai Wali dan kuburannya diziarahi sebagai tempat suci untuk mendapatkan berkah.
Padahal Syekh Muhammad Rasyid Ridha telah mengeluarkan fatwa dalam Majalah Al-Manar di Kairo yang menyatakan bahwa seorang yang Sayyid boleh menikah dengan yang bukan Sayyid, demikian juga Syekh Ahmad Sorokati berfatwa bahwa Islam tidak mengenal diskriminasi karena keturunan, harta dan pangkat.
Sejarah Syarif dalam Dunia Islam
Syarif merupakan gelar bagi orang yang tinggi derajatnya atau mulia. Gelar Syarif tidak dipakai kecuali oleh keturunan bangsawan. Pada mulanya gelar ini digunakan untuk orang yang ada hubungannya dengan silsilah keturuanan Nabi Muhammad SAW dari jalur keturunan Abbasiyah (keturunan Abbas bin Abdul Muthalib) dan keturunan Abu Thalib.
Gelar ini kemudian menyempit hanya bagi keturunan Fatimah Az-Zahra dari jalur Imam Hasan dan Imam Husein. Gelar Syarif ini populer pada masa Dinasti Ayyubiah di bawah kepemimpinan Salahuddin Al-Ayubi dan Diansti Mamlik (Mamluk).
Sebagai seorang Syarif memeiliki tanda pengenal berupa serban berwarna hijau. Gelar Syarif menjalar pada berbagai keluarga kerajaan dalam negeri-negeri Islam. Di Indonesia, Syarif yang terkenal adalah Syarif Hidayatullah dari Banten. Walau Dalam Islam terdapat kesamaan derajat bahwa tidak ada yang mulia kecuali yang bertakwa kepada Allah SWT.