Pembaruan Islam di Bidang Tafsir Al-Qur’an
Ditulis pada: Februari 20, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Ahmad Asy-Syirbashi dalam karyanya "Sejarah Tafsir Qur'an" menjelaskan bahwa abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram dan terbelakang. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Sayyid Jamaluddin Al Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan muslim, muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya adalah Syekh Muhammad Abduh.
Ia yang mengajak pembaruan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam, ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan. Sayyid Rasyid Ridha muridnya Syekh Muhammad Abduh mencatat kuliah-kuliah gurunya ke dalam Majalah Al Manar.
Langkah selanjutnya, ia menulis Tafsir Al-Qur’an yang diberi nama Tafsir Al Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaruan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok segala keadaan, waktu dan tempat.
Tafsir Al Manar
Metode Tafsir Al Manar adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan hadis-hadis sahih dan dengan tetap berpegang pada makna menurut pengertian bahasa Arab. Syekh Muhammad Abduh memandang teks induk Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Ia tidak banyak mempermasalahkan segi bahasa seperti nahwu dan balagah, tetapi lebih mengutamakan soal makna.
Syekh Muhammad Abduh pun tidak sampai terperosok masuk ke persoalan yang paling detail atau soal-soal lainnya yang bersifat partial (juz’iyyat) tetapi langsung memasuki masalahnya yang bersifat universal (kulliyat) serta makna yang bersifat umum. Muhammad Abduh menyelidiki sebab dan faktor yang dapat menghubungkan ajaran Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu sosial dan politik. Sebagai dalil pembuktian, ia sajikan pendapat-pendapat para ahli filsafat zaman modern dan para tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh politik.
Ia berusaha mendapatkan titik temu antara ajaran-ajaran Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Syekh Muhammad Abduh berpendapat, perhatian para ahli tafsir dari segi bahasa seperti nahwu dan balagah serta filsafat dapat mengalihkan perhatian orang banyak dari tujuan yang dimaksudkan Al-Qur’an dan membuat pula lupa maknanya.
Tafsir Qur’an yang dinginkan Syekh Muhammad Abduh adalah tafsir yang mampu membuat orang memahami Al-Qur’an sebagai sumber agama yang memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Itulah tujuan pokok penafsiran Al-Qur’an yang diinginkan Syekh Muhammad Abduh.
Selanjutnya, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa, Al-Qur’an adalah kitab hidayat dan hukum syariat bukan kitab yang menguraikan ilmu pengetahuan dan teknologi secara rinci, untuk menguraikan lebih rinci mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan sepenuhnya kepada kita menurut kemampuan kita, tidak tergantung pada wahyu.
Kitab-kitab tafsir sebelumnya, bisa mengerahkan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an satu demi satu menurut urutan yang terdapat di dalam kitab suci itu. Tidak demikian hanya dengan Tafsir Al Manar. Ia menyebut beberapa ayat yang mempunyai makna umum, kemudian ditafsirkan setelah selesai, lalu pindah ke tafsir sekelompok ayat yang lain lagi.
Cara seperti itu dipraktikan secara lebih luas lagi oleh Sayyid Qutub dalam kitabnya yang berjudul Fi-Dzhilalil Al-Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an). Sayyid Qutub menyebut seperempat Qur’an, kemudian baru ditafsirkannya. Demikianlah caranya menafsirkan Qur’an.
Ada juga Ulama terdahulu yang menafsirkan Qur’an dengan menempuh cara menafsirkan ayat demi ayat, tetapi seperti Ibnul Qayyim, ketika ia menafsirkan suatu persoalan khusus yang terdapat di dalam Qur’an, yakni soal qasam (pernyataan sumpah).
Ia mengumpulkan terlebih dahulu semua ayat yang bersangkutan dengan soal itu, kemudian menerangkannya di dalam kitab khusus yang berjudul At-Tibyan. Syekh Mahmud Syaltut memandang cara tersebut sebagai cara paling ideal untuk menafsirkan Qur’an. Syekh Mahmud Syaltut berkata menafsirkan Al-Qur’an dapat ditempuh dengan dua cara.
Metode Penafsiran Al-Qur’an Syekh Mahmud Syaltut
Metode penafsiran Al-Qur’an yang pertama menurut Mahmud Syaltut adalah menafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah sebagaimana yang sudah diketahui umum. Si penafsir, menafsirkan kata demi kata dan kalimat, kemudian menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain lalu menerangkan makna yang dimaksud ayat-ayat bersangkutan.
Perbedaan cara menafsirkan Al-Qur’an disebabkan karena perbedaan semangat di kalangan para ahli tafsir, ada yang jiwanya dikuasai ilmu balagah sehingga dalam menafsirkan Al-Qur’an ia lebih menitik beratkan uraianya pada kaidah-kaidah ilmu tersebut.
Ada yang menguasai ilmu nahwu dan sharaf, sehingga ia memusatkan perhatiannya kepada masalah kedudukan kata-kata di dalam kalimat (i’rabul-kalimat) dan perubahan-perubahannya (tashrifnya). Ada yang dikuasainya ilmu sejarah, maka ia mengutamakan kisah dan riwayat bahkan ada yang berlebihan sehingga memasukan dongeng-dongeng Yahudi (Isra’iliyyat) tanpa diteliti lebih dahulu.
Yang menguasai ilmu filsafat, maka ia lebih suka membahas alam semesta. Banyak juga ayat-ayat yang ditafsirkan atas dasar berbagai kaidah ilmu fikih, lalu oleh para pendiri Mazhab disimpulkan berdasarkan bahan-bahan dari cabang-cabang pengertian hukumnya yang kemudian dijadikan pegangan pokok untuk memahami teks-teks induk Al-Qur’an dan Sunnah serta untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum syariat.
Bahkan ditarik lebih luas sehingga mengenai soal-soal yang berkaitan dengan pendapat dan keyakinan golongan bahkan turut serta dalam peperangan karena ayat-ayat itu mansukh. Dengan demikian maka Al-Qur’an yang semestinya adalah sumber pokok, pada akhirnya diciptakan seolah-olah sebagai cabang, yang semestinya harus diikuti, akhirnya dijadikan sebagai “yang harus mengikuti.”
Qur’an yang semestinya harus menjadi alat untuk menimbang akhirnya dinilai seolah-olah menjadi “yang harus dipertimbangkan.” Padahal Allah SWT telah berfirman “Apabila kalian bertengkar mengenai sesuatu hendaklah kalian kembalikan persoalannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir (Q.S An-Nisa).
Mengembalikan persolaan kepada Allah bermakna mengembalikan segala sesuatunya kepada Kitabullah dan mengembalikan persoalan kepada Rasul bermakna mengembalikannya kepada Sunnah Rasul yang sahih.
Akan tetapi mereka berbuat sebaliknya, mereka memutar balik tata cara penetapan hukum, mengembalikan Kitabullah dan Sunah Rasul kepada pendapat mereka sendiri dan kepada masing-masing mazhab yang dianutnya.
Fakhruddin Razi dalam tafsirnya menyatakan “Saya pernah menghadapi suatu jamaah penganut para Ulama ahli fikih. Karena itu saya membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan beberapa soal.
Karena mazhab-mazhab mereka tidak sependapat dengan makna-makna ayat itu, mereka tidak mau menerimanya dan mereka berkata : Bagaimana mungkin kita berbuat menurut makna lahir ayat-ayat itu, sedangkan riwayat-riwayat hadis yang kita dengar dari pendahulu kita berlainan dengan ayat-ayat itu.”
Cara-cara yang menyimpang dalam menafsirkan Qur’an itu atau yang memutar balikan hubungan Qur’an dengan soal-soal fikih dan keyakinan mazhab merupakan sebab timbulnya kekacauan pikiran dalam mencari makna ayat-ayat Al Qur’an. Akibatnya, banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan tidak mau mendengarkannya apa yang dikatakan oleh para ahli tafsir.
Metode kedua adalah penafsir Qur’an mengumpulkan lebih dahulu ayat-ayat yang berkenaan dengan satu masalah. Kemudian ayat-ayat itu ditaruh dihadapannya sebagai bahan untuk dianalisa dan dipahami maknanya, diperbandingkan yang satu dengan yang lain hingga tampak jelas hikmah dan tujuan dalam kaitannya dalam masalah yang hendak dipelajari.