KH Hasyim Asy'ari, Dari Era Kolonial Hingga Persoalan Pemikiran (2)
Ditulis pada: Februari 19, 2022
KH Hasyim Asyari, Dari Era Kolonial Hingga Persoalan Pemikiran (Sumber gambar tangkapan layar Kanal YouTube Dari Langit) |
KH Hasyim Asy’ari merupakan seorang penulis yang handal. Beliau menulis dalam bahasa Arab. Tema-tema yang dibahaspun dari berbagai bidang seperti tasawuf, fikih dan hadis. Sampai sekarang kitab-kitab yang ditulisnya masih dipelajari di berbagai pesantren.
Diantara kitabya; At-Tibyan in Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan, Adabul Alim walMuta’alim, Al-Risalah Al-Jami’ah, Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-Ulama, Al-Mawa’iz, Hadits al-Mawt wa Ashrah al-Sa’ah, Al-Durar Al-Muntathirah fit Tis Asyarah, Al-Risalah At-Tauhidiyyah.
Sebenarnya karya-karyanya masih banyak selain yang di atas. Pidato-pidatonya banyak diterbitkan dalam surat kabar. Pemikiran Keislamannya terbagi kebeberapa bidang ilmu Islam seperti tasawuf, teologi dan fikih.
Dalam pemikiran Keislaman, KH Hasyim Asy’ari menggunakan corak Islam tradisional (corak Islam tradisional dipandang sebagai ajaran yang telah diajarkan dan dibawah oleh Wali Songo). Beliau tetap mempertahankan corak Islam tradisional ini. Sebab, paham ini sudah mulai tergerus oleh paham-paham modernis.
Pertama, tasawuf. Pemikiran KH Hasyim Asy’ari mengenai tasawuf dijelaskan dalam karyanya yaitu kitab berjudul Ad-Durar Al-Muntathirah fil Masa’il At-Tis Asyarah dan kitab At-Tibyan fin Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan. Dalam tulisannya, beliau mengecam keras terhadap penyimpangan-penyimpangan ajaran sufi.
Misalnya, dalam kitab Ad-Durar, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa dalam penyimpangan ajaran sufi adalah para sufi itu sendri. Karenanya, KH Hasyim Asy’ari membuat terobasan hal-hal yang menyimpang itu untuk dilakukan dengan perilaku yang biasa saja (tawasuth).
Seperti dalam memuliakan guru, KH Hasyim Asy'ari memberikan contoh terhadap santri-santrinya kalau dirinya tidak bersedia dipanggil sebagai guru sufi, jadi harus bersikap sederhana. Bahkan beliau melarang santrinya untuk mengikuti persaudaraan sufi.
Semuanya dilakukan bermaksud supaya tidak meninggalkan pelajaran. Konsep ajaran sufi yang dituliskan KH Hasyim Asy’ari telah mengajarkan bahwa, dalam ajaran sufi tidak boleh berlebihan terhadap apapun, tetapi beliau menganjurkan untuk biasa-biasa saja. Tujuannya adalah supaya sufisme dalam Islam tidak dianggap radikal.
Pemikiran tasawuf KH Hasyim Asy’ari bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat Islam secara umum dalam banyak hal, dalam hal ini semuanya perulangan prinsip-prinsip sufisme yang telah diajarkan oleh Al Ghazali dalam Ihya ulumuddin.
Menurut KH Hasyim Asy’ari, ada empat peraturan yang harus dilakukan jika seseorang ingin disebut sebagai pengikut suatu tarekat yaitu, menghindari penguasa yang tidak melaksanakan keadilan, menghormati mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh meraih kebahagiaan di akhirat, menolong orang miskin dan melaksanakan shalat berjama’ah.
Corak dan pemikiran sufistik KH Hasyim Asy’ari sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan sangat berbeda dengan sufisme yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Abd Rauf As-Sinkili dan Syamsudin As-Sumatrani di Nusantara abad ke 13 M.
Menurut Fazlur Rahman, Sufi Islam murni ini berkembang setelah adanya gerakan pembaruan neo-sufisme yang berpusat di Makkah dan Madinah pada akhir abad 19 M, yang bertujuan membersihkan sufisme dari ajaran-ajaran asketik dan metafisik untuk digantikan dengan ajaran-ajaran Islam murni dalam sufisme.
Pembaruan dalam ajaran sufi ini telah diterima oleh KH Hasyim Asy’ari pada akhir abad 19 M. KH Hasyim Asy’ari telah mendasarkan pemikiran sufismenya kepada ajaran sufi Islam murni yang dipraktikan oleh Al Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali.
Berbeda dengan muslim modernis yang cenderung menolak segala jenis praktik sufisme yang dianggap menyimpang dari kemurnian Islam, sebab membuat bid’ah dalam ibadah dan mendorong kepada kemusyrikan. Sedangkan muslim tradisional menganggap sebagian persaudaraan sufi masih dalam bingkai Islam, artinya membolehkan jenis praktik sufisme.
Persaudaraan-persaudaraan sufi ini diakui dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama sebagai badan otonom dalam At-Tariqat Al-Mu’tabarah Al-Nahdliyah, badan ini sebagian besar terdiri atas sufi Qadariyah dan Naqsyabandiyah.
Kebanyakan pesantren di Jawa telah mengembangkan Islam murni selama berabad-abad, dan menghindari paham sufi yang sesat. Bahkan, pesantren-pesantren di Jawa ini merupakan pusat dari pengembangan Islam murni sampai saat ini, sedangkan di luar Jawa, doktrin-doktrin sufi spekulatif masih berkembang.
Dari sini kita bisa tahu bahwa, pemikiran KH Hasyim Asy’ari di bidang tasawuf mengikuti sufi yang telah dirumuskan oleh Imam Junaidi Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali. Sufi ini penekanannya terhadap peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Sufi yang diajarkan beliau bukanlah yang menjurus ke panteisme dan syirik, melainkan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam Sunni.
Kedua, Fikih. Pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang fikih yang paling menonjol adalah tentang ijtihad dan taqlid. Menurutnya, hal yang sangat penting yaitu mengikuti salah satu dari empat mazhab sunni. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang ini dan hal-hal lainnya di dalam Muqaddimat al-Qanun al-Asasi al-Nahdlah al-Ulama.
Kitab tersebut merupakan hasil dari ijtihad KH Hasyim Asy’ari bersama ulama lainnya, yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ijtihad disini merupakan sarana paling efektif untuk mendukung agar tetap tegak dan eksistensinya hukum Islam, serta menjadikan sebagai tatanan hidup yang up to date agar dapat menjawab tantangan zaman.
Sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang telah mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui hujjahnya (orang seperti ini disebut Muqallid). Keduanya harus berkaitan.
Taqlid untuk mengisi kekosongan ketika ijtihad tidak bisa diterapkan. Kalau tidak, akan menjadi beban yang tidak semestinya untuk meminta semua orang menjadi seorang mujtahid. Dengan demikian, taqlid disini awalnya dilarang.
Menjadi boleh apabila seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Hal ini sejalan dengan pemikiran KH Hasyim Asy’ari mengenai larangan taqlid hanya ditujukan kepada seseorang yang mampu melakukan ijtihad, meskipun kemampuannya hanya pada satu bidang, sehingga berpendapat bagi siapa saja yang tak mampu melakukan ijtihad, maka harus mengikuti salah satu dari empat mazhab.
Pendapat tersebut dipegang oleh NU yang terus menekankan bahwa persyaratan melakukan ijtihad tidaklah sederhana. Meski demikian, NU menganjurkan para anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan agama mereka agar meningkat dari status taqlidnya.
NU menganggap bahwa untuk orang biasa yang tidak mampu melakukan ijtihad, diperbolehkan bertaqlid pada salah satu dari empat mazhab Sunni, sebab sebagaimana yang disabdakan Rasul bahwa perbedaan pendapat dikalangan masyarakat muslim adalah rahmat dan memaksakan suatu pendapat dibenci Tuhan.
KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa mengikuti salah satu empat mazhab Sunni itu bermanfaat bagi umat Islam, karena setiap generasi ulama mengambil manfaat dan mengembangkan pemahaman Keislamannya dari usaha generasi pendahulunya.
Seperti para tabi’in bersandar kepada para sahabat, sementara para tabi’at tabi’in bersandar kepada tabi’in dan seterusnya. Karena itu, penyandaran terus menerus dan penerimaan ilmu pengetahuan dan generasi pendahulu ini merupakan sumber informasi yang tak habisnya bagi para ilmuwan muslim.
Ini terutama mengingat ajaran Islam tidak dapat dipahami kecuali dengan wahyu atau sistem pengambilan hukum tertentu (istinbath).Wahyu harus secara terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui teks, sedangkan istinbath harus dilaksanakan dengan bantuan ajaran-ajaran mazhab hukum.
Sementara pemikiran KH Hasyim Asy’ari dalam fikih siyasah, bahwa fikih siyasah bisa dikatakan sebagai ilmu politik pemerintahan dan ketatanegaraan dalam Islam yang mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan dalil umum dalam Al-Quran dan Hadis serta tujuan dalam syariat.
Saat itu KH Hasyim Asy’ari aktif ikut campur dalam urusan kenegaraan, sebab ia khawatir terhadap bangsa Indonesia yang akan terpecah belah. Maka, sikap yang diambil KH Hasyim Asy’ari adalah ajakan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu dalam aksi bersama.
Menurutnya, perpecahan merupakan penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.
Ketiga, Kebangsaan. Pemikiran kebangsaan KH Hasyim Asy’ari sebenarnya mengarah ke ide politik (fiqh Siyasah). Secara umum pemikiran politik KH Hasyim Asy’ari sejalan dengan doktrin politk Sunni sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Al Mawardi dan Al Ghazali.
Pada dasarnya doktrin ini sangat akomodatif terhadap penguasa, hal ini dikarenakan saat dirumuskannya doktrin ini ketika dunia politik Islam mengalami kemunduran yang pada gilirannya akan memunculkan anggapan bahwa, posisi rakyat sangat lemah dan mereka harus tunduk terhadap penguasa.
Awalnya, KH Hasyim Asy’ari bukanlah seorang aktivis politik dan bukan pula musuh penjajah. Ketikanya beliau belum untuk menyebarkan ide-ide doktrin politik dan bahkan tidak keberatan dengan kebijakan-kebijakan penjajah, dalam hal ini selama tidak membahayakan keberlangsungan ajaran-ajaran Islam.
KH Hasyim Asy’ari tidaklah seperti tokoh-tokoh nasionalis-sekuler, Soekarno sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia dan Presiden, Cokroaminto dan Agus Salim pemimpin Sarekat Islam yang memfokuskan diri pada isu-isu politik dan bergerak secara terbuka selama beberapa tahun untuk kemerdekaan Indonesia. Meski demikian, KH Hasyim Asy’ari dapat dianggap sebagai pemimpin spritual bagi sebagian tokoh politik.
Wallahu A'lam