Khittah Pesantren Sebagai Moderasi Benteng Beragama
Ditulis pada: Februari 06, 2022
Khittah Pesantren sebagai Moderasi Benteng Beragama |
KULIAHALISLAM.COM - Sudah mafhum, kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah, yang bersinonim kata tawassuth, i’tidal, dan tawazun. Kata wasathiyah berasal dari kata wasath yang memiliki banyak pengertian, salah satunya adalah “sesuatu yang terdapat di antara kedua ujung atau pertengahan dari segala sesuatu.”
Dari arti tersebut hakikat wasathiyah adalah adanya hubungan tarik menarik antara yang tengah dan kedua ujungnya, sehingga menuntut kesabaran dalam menghadapinya, dan membutuhkan pemahaman yang memadai, supaya tidak terseret oleh salah satu ujungnya.
Jika dikorelasikan dalam konteks beragama, maka moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem.
Dari sini kita tahu, bahwa hakikat prinsip moderasi adalah adil dan berimbang, selalu menjaga keseimbangan diantara dua hal, keseimbangan antara akal dan wahyu, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, serta keseimbangan masa lalu dan masa depan.
Syahdan, moderat adalah ciri dan esensi ajaran agama Islam sebagaimana sudah termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 143. Sejak Islam masuk ke Indonesia dalam proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan budayanya, sudah menunjukkan keramahannya.
Dalam konteks ini, Islam disebarluaskan secara damai, tidak memaksa penganut lain untuk masuk Islam, menghormati budaya saat ini bahkan memasukkannya ke dalam budaya lokal tanpa kehilangan jati diri.
Diskursus ihwal moderasi beragama di Indonesia, seringkali diklasifikasikan dengan tiga pilar, yakni: moderasi pemikiran, gerakan, dan perbuatan. Pemikiran keagamaan moderat antara lain ditandai dengan kemampuan memadukan teks dan konteks.
Pemikiran keagamaan yang tidak hanya bertumpu pada teks-teks agama dan memaksakan realitas dan konteks baru pada teks, tetapi juga mampu berdialog secara dinamis agar pemikiran keagamaan moderat tidak hanya tekstual, melainkan pada saat yang sama tidak terlalu lepas dan mengabaikan teks.
Moderasi beragama dalam bentuk gerakan bertujuan untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran, harus didasarkan pada ajakan yang dilandasi dengan prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula, bukan sebaliknya, mencegah kemungkaran dengan cara melakukan kemungkaran baru berupa kekerasan.
Moderasi beragama dalam tradisi dan praktik keagamaan adalah, penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. Artinya, kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya harus saling terbuka dalam membangun dialog untuk menghasilkan culture new.
Pesantren Sebagai Tempat “Tafaqquh Fiddin”
Secara kelembagaan, pesantren dikenal dengan pendidikan Islam tertua di Indonesia, lahir dan tumbuh berkembang di Indonesia dengan berbagai dinamikanya. Tentu pesantren tidak muncul begitu saja, tanpa ada keterkaitan dengan yang lain.
Sebagian mengatakan bahwa sedikit banyaknya pesantren telah terpengaruh dengan pola yang dipraktikkan para ulama ketika dalam masa penuntutan ilmu di Timur Tengah. Itulah yang diadopsi oleh para ulama dengan polesan tertentu dan didukung oleh masyarakat.
Pendirian pesantren pada awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan, yang memiliki akses kurang bagus dengan perkotaan yang pada saat itu sudah mengelola pendidikan dalam bentuk formal.
Dengan kondisi ini, pesantren menjadi simbol penghubung antara pedesaan dengan perkotaan, ini ditandai dengan latar belakang beragam dari santri yang belajar di pesantren.
Keragaman santri tersebut sama sekali tak berpengaruh pada orientasi dan keinginan belajar agama, dalam hal ini banyaknya santri itu diikat oleh keyakinan agama yang kuat. Inilah yang membuat pesantren bisa hidup dan bertahan sampai saat ini.
Ritme hidup di pesantren baik dalam hal pembelajaran keilmuan maupun kaitannya dengan hidup keseharian tentu harus secara berkesinambungan.
Secara historis, pesantren di Indonesia telah mengembangkan kultur keilmuan yang komprehensif dengan sistem pembelajaran yang demokratis dialogis, dan tetap konsisten, pada “tafaqquh fiddin”. Sistem ini menempatkan prinsip keilmuan Islam dan karakter kepesantrenan yang ditradisikan.
Aspek lain di pesantren adalah pembinaan dan pengembangan “akhlakul karimah” melalui nilai kebersamaan, solidaritas dan toleransi serta menghargai dan menghormati sesama dalam bingkai saudara kemanusiaan, meminjam istilah Gus Dur adalah “humanisme” .
Sistem kehidupan di pesantren inilah tumbuh berkembang secara terpola sebagai culture pesantren. Sistem ini adalah benih pembentukan dan pengembangan Islam yang ramah, yang diharapkan menjadi tumpuan dalam mengantisipasi gerakan Islam yang keras (kiri).
Tak kalah penting yang dijadikan pegangan pesantren pada umumnya adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia. Dengan hal ini berupaya agar semua komponen pesantren tidak terlibat dalam berbagai paham dan kegiatan yang mengarah pada kekerasan.
Tentu indikatornya adalah dengan menanamkan keimanan dan kesadaran beragama, sehingga santri mampu menghayati dan mengamalkan syariat yang benar.
Karena itu pesantren harus berusaha memberikan pengajaran, baik dipengajian kitab maupun dikelas-kelas tentang Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam dengan wajah santun, toleran, jauh dari wajah yang penuh kekejaman dan kekerasan.
Lebih dari itu pesantren juga harus selektif mencari ustaz, agar ideologi Islam yang keras tak begitu saja disebarluaskan di pesantren secara sistematis dan masif.
Sistem pengajaran kitab kuning di pesantren menggunakan sistem yang dilakukan oleh pesantren sejak dahulu yaitu, pengajaran dengan sistem sanad (mata rantai keilmuan).
Sistem tersebut mampu menjaga pemahaman keagamaan yang moderat dari sumbernya, yaitu Rasulullah SAW. Sistem sanad keilmuan tersebut hingga kini masih (harus) tetap dipelihara dalam pembelajaran kitab kuning (baik sorogan maupun bandongan).
Pembelajaran dengan sistem sanad, dapat menjamin orisinalitas dan autentisitas keilmuan yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Sanad ini menghubungkan seorang santri kepada guru, lalu guru ke gurunya terus ke ulama hingga Nabi Muhammad SAW sebagai sumber Islam.
Perjumpaan antara santri dan guru dalam bentuk interaksi pembelajaran kitab kuning, berujung pada penilaian santri terhadap guru, begitu pun sebaliknya. Dari sudut pandang santri, penilaian terhadap integritas seorang guru merupakan hal penting, mengingat dalam ajaran Islam tugas guru tak hanya membina akal, tapi juga moral.
Dalam memberikan pemahaman kitab kuning, ustaz atau Kiai harus menentukan sesuai pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh santri (tidak memberikan pemahaman yang ekstrem terhadap santri).
Mafhum, istilah jihad sering ditemukan dalam pengajaran kitab, tetapi seorang Kiai harus memberikan penjelasan sesuai dengan konteksnya, sehingga istilah tersebut tidak selalu identik dengan perang ataupun bunuh diri, tetapi jihad dalam konteks Indonesia.
Yaitu jihad menghadapi kemungkaran, keterbelakangan, dan menghadapi pengaruh hawa nafsu yang dihadapi oleh setiap individu, santri khusunya. Dengan ini tentu para santri dapat menumbuhkan pemahaman yang moderat dalam bentuk anti kekerasan. Wallahu a’lam…