Islam dan Kebhinekaan: Meraih Kemajuan di Masa Depan (2)
Ditulis pada: Februari 05, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Indonesia berpotensi besar menjadi salah satu Magnit dunia berkat keberagaman sedikitnya dalam dua dimensi. Pertama, dimensi fisik geografis, menggambarkan mozaik ribuan pulau yang memancarkan daya tarik kelautan dan kemaritiman, yang menawarkan keeksotikan ragam model budaya lokal, yang memangku pegunungan, daratan, maupun lautan termasuk the unpredictable kebencanaan alamnya yang fenomenal. Kedua, dimensi demografi geospiritual, dimana kerukunan dan keharmonisan yang mengakar kuat di masyarakat, bagai mozaik kecintaan dan pemaafan (love and forgiveness).
Singkatnya, hanya di Indonesia dapat ditemukan beragam etnik dengan bahasa dan kultur lokalnya. Hanya di Indonesia dapat ditemukan jajaran pegunungan berapi dan luasnya hutan tropis yang memancarkan kewibawaan alamnya. Hanya di Indonesia dapat ditemukan kekayaan alam di atas dan di bawah permukaan bumi dan laut yang menanamkan optimisme pada warga negaranya. Hanya di Indonesia dapat ditemukan curah hujan, udara dan angin tropis kepulauan bagai rayuan pulau kelapa nya.
Berbagai mozaik tersebut bersifat fisik yang wujudnya dapat dipandang dan disentuh dengan panca Indra manusia. Secara alami, aneka mozaik tersebut menjadi daya tarik bagi siapapun dan semakin daya dikerahkan untuk menggarap potensi yang ada tidak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan menjadi ikon ikon wisata dan investasi baik domestik maupun mancanegara. Pada dimensi ini, tantangan terletak pada belum optimalnya pengelolaan potensi potensi yang ada dengan tatakelola yang mengadopsi model model kelolaan masa kini.
Pada dimensi demografis geospiritual, sejatinya pesona wajah Indonesia berbasis religi yang tidak kalah uniknya justru terletak pada besarnya jumlah penduduk dengan mayoritas pemeluk Islam yang meletakkan kerukunan menjadi prioritas utama, bagai melodi kematangan rohani. Namun, pada titik ini justru pesona kematangan rohani Indonesia saat ini sedang dalam tantangan besar sebagai efek dari banyaknya rintangan terhadap kehidupan kerukunan dan keharmonisan khususnya selama hampir dua dekade dimulai sejak masa reformasi pada awal 2009-an. Kuatnya tekanan terhadap praktek kerukunan sebagai dampak dibuka lebarnya keran keterbukaan atas nama demokrasi dengan segala efeknya.
Peristiwa demi peristiwa dengan pengatasnamaan nuansa religi, menjadikan pesona kerukunan bagaikan lukisan yang robek akibat goresan arus yang menghendaki arah yang berbeda dalam berbangsa dan bernegara. Pada dimensi ini, tantangan terletak pada kekuatan mengembalikan kerukunan dan keharmonisan yang sedang terakbagar dapat utuh kembali untuk mewujudkan Indonesia yang raya.(Kata Pengantar, Rutmini Iksan, Med.Ad., PhD. Hlm Vi). Mengelola perbedaan dalam Islam Banyak benda sehari-hari di lingkungan kita yang sebetulnya bermata dua. Beberapa yang dapat disebutkan adalah api, pisau, air, bahkan yang tergolong jenis obat-obatan di mana jika digunakan secara baik mendatang kan kebaikan namun jika penggunaannya tidak tepat justru membahayakan.
Demikian pula yang terjadi pada sebuah kondisi bermasyarakat yang heterogen yang dapat dipastikan kaya dengan perbedaan, baik berbeda dalam zona mikro internal grup maupun berbeda dalam zona makro antar kelompok dalam masyarakat. Dari sisi kedalaman perbedaan, dapat berbeda gaya bicara sampai dengan perbedaan keyakinan dan aliran dalam satu keyakinan. Perbedaan perbedaan tersebut dapat beranalogi dengan api, pisau, dan air yang tidak dapat pungkiri bermata dua di mana dapat ditempatkan sebagai anugerah di satu sisi dan dapat menjadi bencana pada sisi lainnya. Kedewasaan sikap, mental, cara berpikir, dan tingkat peradaban yang dapat memberikan arah ke mana perbedaan akan dibawa kebaikan atau ke kebencanaan.
Dalam realitanya, perbedaan merupakan suatu keniscayaan, sebuah anugerah ilahi yang wajib disyukuri dan disikapi dengan baik oleh semua agama. Semakin besar sebuah komunitas dapat menerima perbedaan seringkali berkolerasi dengan semakin majunya peradaban dan semakin tingginya pemahaman nilai-nilai universal di mana Islam sarat dengan ajaran ajaran universal tersebut. Sebagai contoh, dalam sejarah peradaban Islam, pada masa Khilafah Abbasiyah khususnya pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid dan puteranya Al-Makmun. Sebaliknya, yang dapat terjadi adalah, semakin sebuah komunitas atau individu mengasingkan diri dari realita perbedaaan, semakin menunjukkan kecenderungan nya ke arah ekstremisme dan keegosentrisan yang justru bergerak mundur dalam peradaban. Penerimaan terhadap perbedaan menghasilkan sebuah perilaku yang disebut sebagai toleransi, sebaliknya penolakan terhadap perbedaan mengarah pada intoleransi yang menuntun kemunculan tragedi yang berkecenderungan melahirkan ekstremisme.
Dalam konteks keislaman, Islam tidak diragukan mengajarkan nilai-nilai yang bersifat universal dan bermartabat tinggi, yang sering disebut sebagai "agama Rahmatan Lil Alamin". Dalam konteks kehidupan ini dapat dijumpai individu atau masyarakat yang bukan muslim tapi berperilaku islami, namun sebaliknya seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai muslim justru mempraktekkan perilaku perilaku yang tidak islami. Toleransi sebagai perilaku islami Bahwa Tuhan menciptakan makhluknya berserta perbedaan nya. Tuhan menciptakan makhluknya menjadi berbeda-beda baik sebagai individu maupun kelompok merupakan kenyataan klasik normatif yang tidak terbantahkan selamanya.
Namun, seringkali kenyataan tersebut ingin dikalahkan oleh keegoan kelompok atau individu oleh mereka yang justru menganggap diri sebagai pemeluk agama yang taat. Justru mereka yang mengatasnamakan pemeluk agama yang taat yang sering menolak kenyataan dan sebaliknya beranggapan bahwa hanya diri dan kelompoknya yang paling betul di hadapan tuhan. Berhadapan dengan kondisi tersebut, diperlukan kejernihan berpikir dan penguatan diri baik secara individu maupun kelompok bahwa toleransi merupakan jalan yang diamanatkan dalam Islam. Kekuatan toleransi terdapat pada optimisme kedamaian di manapun individu dan kelompok berada. Sebaliknya, absennya toleransi dalam kehidupan menandakan kebangkrutan kedamaian dan memicu kekonflikan.(Dr.Alwi Shihab, hlm 2-3).
Rujukan toleransi dalam Al-Qur'an Tidak diragukan lagi bahwa, toleransi dianjurkan oleh Islam baik secara historikal eksplisit maupun implisit. Jauh dari sekedar wacana, sejak awal Islam telah mencanangkan adanya perbedaan dan dengan jelas menyatakan bahwa perbedaan adalah sunatullah, yang mengukuhkan sebagai ketetapan dan kehendak Tuhan, bukan keinginan manusia. Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang mengacu pada eksistensi perbedaan, kesemuanya memberikan sinyal dan arahan kepada umat manusia sebagai individu maupun kelompok bahwa apabila kenyataan nya berbeda, perbedaan yang alami dan bersifat turun temurun, maka perbedaan itu harus diterima.
Melalui diskusi sunatullah tersebut, Al-Qur'an memberikan tuntunan yang dalam implementasi nya membuktikan bahwa semakin banyak individu maupun kelompok dapat menerima perbedaan dan menyikapinya dengan kecerdasan, menunjukkan semakin luas zona jangkauan pengembangan (width) dan semakin dalam zona integritas religinya (depth) dalam membangun peradaban kemanusiaan. Melalui diskusi tersebut pula, manusia dibimbing untuk mengelola perbedaan, mengelola tidak hanya untuk relasi antar manusia secara horizontal melainkan juga relasi vertikal sebagai bentuk ketaatan dan ketakwaan manusia pada amanat pencipta nya. Pada titik ini, toleransi menjadi indikator perilaku yang islami.(Dr.Alwi Shihab, hlm 4-5).
Firman Allah dalam Al-Qur'an surah Yunus [10] ayat 99: mengisyaratkan kembali keniscayaan perbedaan dan anjuran untuk menerima nya sebagai ketetapan ilahi. Artinya: "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah dapat beriman semua manusia yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?". Dalam Al-Qur'an surah HUD ayat 118 Allah berfirman: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat". Al-Qur'an lebih jauh mengajarkan kepada kita bagaimana mengelola perbedaan perbedaan dengan baik. Pengelolaan perbedaan inilah yang melahirkan toleransi. Toleransi berarti kita saling mentolerir dan menerima pandangan pihak lain. Walaupun kita tidak meyakini pihak lain benar, tapi kita harus tetap berinteraksi dengan baik. Kita tidak menggunakan cara-cara yang bisa menimbulkan perselisihan atau kegaduhan di dunia ini.
Jadi Tuhan menciptakan manusia tidak untuk satu karakteristik melainkan beragam baik secara fisik maupun sosial, budaya, bahkan agama. Kalau Tuhan mengehendaki, Tuhan dapat menciptakan manusia monolitik atau satu ragam, namun Tuhan tidak mengehendaki melalui firman-nya berikut. Artinya: "Tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian nya kepadamu". Dengan kata lain, muslim diberi kitab suci Alquran, Yahudi diberi taurat, Kristen diberi Injil, dan selanjutnya dengan agama-agama lain. Tuhan bertujuan untuk menguji tiap kelompok, bagaimana komitmen masing-masing terhadap agamanya. Tidak salah jika setiap kelompok merasa yang paling benar. Yang diperlukan adalah saling mengerti, saling memahami, dan saling menghargai dalam berinteraksi agar berkembang sikap toleransi.