Skip to main content

Individu, Kelompok dan Sebuah Negara dengan Jargon Hak Asasi Manusia

Individu, Kelompok dan Sebuah Negara dengan Jargon Hak Asasi Manusia


KULIAHALISLAM.COM - Hidup bebas dari ancaman ketidakpastian, ketakutan, agresi, kemiskinan, dan ketidakadilan, adalah impian semua orang. Menjadi bebas, adalah tujuan tertinggi dari seluruh pergulatan pemikiran dan ideologi di berbagai belahan dunia. Kata Karl Marx, kebebasan seseorang merupakan prasyarat bagi kebebasan orang lain.

Perdebatan dan perbedaan baru timbul, ketika muncul kebutuhan untuk merealisasikan impian tentang kebebasan itu di masyarakat. Pada titik tertentu, gagasan kebebasan yang satu dianggap menghancurkan gagasan kebebasan yang lain; pada derajat yang lain beragam definisi kebebasan itu saling beriringan, untuk kemudian mengucapkan salam perpisahan. Ini baru sebatas moral politik, belum lagi menjumput perbincangan praktik politik.

ini juga yang terjadi di Indonesia. Beriringan dengan kebangkitan ekonomi pasar sejak 1998 atau pasca orde baru yang dimulai dengan gagasan reformasi, pelan tapi pasti, wacana tentang kebebasan muncul ke permukaan. Diskusi-diskusi politik dan ideologi yang terbuka mulai bermunculan, khususnya di ruang ruang publik. Sebagian kalangan mengatakan, kebebasan berbicara ini merupakan anak kandung reformasi 1998.

Terlebih dengan makin terkonsolidasinya sistem ekonomi pasar, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ikut membuncah. Suara-suara yang menuntut desentralisasi kekuasaan negara dan partai, berjalannya mekanisme checks and balances, pemisahan kekuasaan yang tegas di antara tiga cabang kekuasaan, penegakan dan penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan kebebasan pers, makin lama makin nyaring terdengar. 

Di satu sisi, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ini, dianggap sebagai jawaban agar tragedi kemanusiaan masa rezim orde baru, tidak terulang lagi. Di sisi lain, kalangan liberal yang diuntungkan oleh reformasi  memandang, reformasi  yang tengah digalakkan tidak akan membawa lebih jauh rakyat Indonesia ke kemakmuran, jika tidak dilakukan reformasi politik

Puncak dari tuntutan akan kebebasan ini, meledak pada protes penurunan Presiden Soeharto, 1998. Ratusan ribu massa yang dimotori gerakan mahasiswa, menuntut agar pemerintah segera melakukan reformasi sistem politik yang mendasar. Dan seperti yang telah kita tahu, demonstrasi massal ini di paksa bubar dengan sangat brutal oleh pihak militer.

Pada masa-masa ini, seperti ditulis banyak mahasiswa, intelektual dan pakar pada saat itu terjadi refleksi mendalam mengenai sejauh mana batas intervensi negara terhadap masyarakat di kalangan negara untuk masyarakat baik kelompok individu dan suatu kelompok. 

Mengambil saripati pemikiran Hayek, beberapa kelompok hari ini melihat bahwa demokrasi dikatakan eksis sejauh ia mengantarkan kita kepada kebebasan individual. Jika tujuan tertinggi ini tidak bisa direalisasikan atau jika gerakan demokrasi tidak sanggup merealisasikan kebebasan individu, tuntutan akan demokrasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dibenarkan

Bagi beberapa kalangan, kebebasan individual adalah mutlak dan menjadi tujuan tertinggi, karena karena individu merupakan pencipta dan pembawa pesan kemanusiaan, dan seturut dengannya, kebebasan individual merupakan fondasi untuk menjelaskan dan melindungi nilai-nilai yang lain seperti persamaan dan keadilan, atau sebagai senjata untuk menghancurkan nilai-nilai yang lain semacam nilai-nilai komunitas dan nasionalisme. 

Mereka menginterpretasikan persamaan sebagai persamaan untuk bebas dari intervensi dan juga menafsirkan keadilan sebagai murni prosedural ketimbang keadilan substantif. Dengan demikian, mereka skeptis dengan gagasan tentang nilai-nilai kebaikan umum atau segala wujud gerakan nasionalis. Mereka menolak sebuah gagasan atau ideal yang sempurna, karena sesuatu yang sempurna seperti sosialisme, cenderung membawa manusia kepada “the road of serfdorm.”

Dari proposisi ini, tersurat bahwa masyarakat sipil dan pengakuan akan kepemilikan pribadi, hanya bisa diwujudkan jika intervensi negara dalam urusan publik semakin minimal. Kembali mengutip Hayek, setiap bentuk intervensi dan regulasi pemerintah dalam pasar, adalah akar soal munculnya sistem pemerintahan totalitarian, entah dalam wujud fasisme, Naziisme, maupun komunisme (kini kita bisa tambahkan fundamentalisme agama). Bagi Hayek, intervensi dan regulasi itu tidak hanya menyebabkan hilangnya kebebasan ekonomi tapi, juga kebebasan politik dan sipil, dan kebebasan individual.

Dalam konteks Indonesia , dititik inilah kontradiksi itu berkecambah. Pada satu sisi,beberapa kalangan ingin diuntungkan oleh berkah pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh percepatan ekonomi pasar yang disponsori dan dikawal dengan ketat oleh negara setelah orde baru. 

Di sini, mereka mendukung penuh kebijakan negara untuk menswastanisasi perusahaan publik, mendesentralisasi pengambilan keputusan di tingkat regional berkaitan dengan masalah ekonomi, memperkuat kepemilikan pribadi, dengan tujuan untuk menjadi negara kapitalisme 100%. 

Selain itu, mereka percaya bahwa hanya melalui kompetisi bebas di pasar, masyarakat Indonesia akan bisa mengeliminasi segala bentuk ancaman dari totalitarianisme yang sudah mendarah daging di era sebelumnya yaitu orde baru

Mengapa kontradiksi ini muncul? penulis mengatakan, asumsi yang ditransfer dari pengalaman liberalisme di Barat tidak memperoleh pembuktian di negara asia khususnya di asia tenggara. Di negara maritim ini , mekanisme pasar yang bekerja di bawah todongan senapan terbukti tidak memperkuat kedudukan masyarakat sipil, dan juga tidak memperlemah kekuasaan negara. 

Sehingga pada akhirnya, garis antara negara dan masyarakat dan transisi dari nilai-nilai otoritarian menjadi nilai-nilai liberal, sedikit susah terlaksana karena masih banyak krooni orde baru yang menjabat di sirkulasi kekuasaan.

Di indonesia, tidak ada ilustrasi yang lebih baik untuk menggambarkan persatuan antara wilayah ekonomi dan politik selain peran yang sangat besar dalam “bisnis,” yang dilakukan oleh pimpinan puncak pemerintah dan partai politik sebagai pemenang pemilu, khususnya anggota keluarga mereka, dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadinya.

Demikianlah, sementara jurang kaya-miskin makin lebar, gagasan tentang kebebasan individu makin terjebak pada kondisinya yang kontradiksi.

Oleh: Muhammad Rausan Fikri 


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar