Sains Islam dan Sains Barat Modern
Ditulis pada: Januari 30, 2022
KULIAHALISLAM.COM - "Saya membereskan ruangan ini." "Sayalah yang membereskan ruangan ini." Dua kalimat di atas mirip atau sama artinya. Tapi pada kalimat kedua seperti ada penekanan.
Kalimat kedua menunjukkan subjek yang melakukan itu penting. Saya—dalam kalimat tersebut merasa cemburu kalau pekerjaan saya itu tidak diakui. Maka, pada kalimat kedua kata "Sayalah yang" menunjukkan pembicaranya ingin diperhatikan.
Demikian pula, Allah dalam QS ar-Rum ayat 48 berfirman:
"Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira."
Sebenarnya, kalimat "Allah yang mengirimkan angin" sudah cukup. Namun mengapa Allah perlu menyebutkan "Dialah" setelah kata Allah? Karena Allah ingin kita memperhatikan-Nya.
Bahwa Allahlah yang mengirim angin, menggerakkan dan membentangkan awan di langit, lalu mendatangkan hujan sehingga manusia bergembira. Fenomena alam itu digerakkan oleh-Nya. Bukan terjadi begitu saja tanpa sebab.
Kita mengenal misalnya dikatakan angin bergerak dari udara yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Tapi mengapa suatu daerah bisa tinggi tekanannya, satu daerah bisa rendah?
Kita paham gempa bumi terjadi karena pergeseran lempengan bumi. Tapi mengapa lempengan itu bergeser dan titik pusat gempanya mengapa ada di situ, bukan di tempat lain, Allahlah yang Maha Tahu.
Bahwa fenomena alam yang terjadi dikatakan sebagai hukum alam (natural law) adalah satu tafsiran, bukan kebenaran. Maka menganggap fenomena alam itu digerakkan oleh Sang Maha Penggerak yaitu Allah tentu sah-sah saja dan tidak perlu diributkan. Karena ini juga sebuah tafsiran terhadap fenomena alam.
Masalahnya adalah, sains modern mengklaim bahwa merekalah satu-satunya yang berhak menafsirkan fenomena alam. Orang Kong Hu Chu, orang Hindu, orang Afrika, dll termasuk orang Islam tidak boleh ikut-ikutan menafsirkan sains atau paling tidak tafsiran sainsnya tidak dianggap sah.
Jadi kalau menurut mereka segala sesuatu terjadi karena begitulah hukum alam bekerja, tafsiran lain—seperti kuasa Tuhan, tidak boleh muncul. Maka, di sekolah-sekolah umum, perbincangan Tuhan atau agama dalam dunia sains dilarang.
Padahal pola pandang (worldview) seorang muslim tidak demikian. Segala sesuatu di alam raya ini terjadi karena kehendak-Nya. Allah sibuk, setiap saat mencipta, memelihara dan memusnahkan segala sesuatu (kulla yaumin huwa fi sya'n, QS ar-Rahman 29).
Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya) (QS ar-Ra'd: 2). Bahkan, tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) (QS al-An'aam: 59). Ini keyakinan kita sekaligus tafsir terhadap fenomena alam.
Orang Islam berpikir demikian karena menganggap bahwa alam semesta, termasuk diri manusia, adalah ayat-ayat Allah yaitu ayat kauniyah. Ayat atau tanda menunjuk kepada yang ditunjuk.
Alam semesta adalah tanda yang menunjukkan keberadaan Tuhan sekaligus kemahapengaturannya atas alam semesta ini. Maka, pantaslah Sains Islam itu didefinisikan sebagai ilmu yang menganggap alam semesta adalah ayat-ayat Allah dan mempelajarinya akan makin mendekatkan diri kita kepada-Nya.
Dengan demikian Sains Islam itu nyata ada, sebagaimana sains modern sekarang juga ada. Kalau ada orang masih menganggap sains itu netral, mungkin perlu mempelajari sains secara filosofis lebih mendalam. Mari belajar tiada henti.
Oleh: Dr. Budi Handrianto