Kelas XII, Meraih Berkah dengan Mawaris
Ditulis pada: Februari 17, 2021
Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan. Nabi Muhammad saw. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Menganalisis dan Mengevaluasi Ketentuan Waris dalam Islam
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris
Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. Sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. Dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-furud al- muqaddarah).
Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain
Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Quran yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an- Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” Demikian juga dalam hadis Nabi saw. disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.
Dasar-Dasar Hukum Waris
Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Quran, kemudian As- Sunnah/hadis dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1. Al-Quran
Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Banyak ayat al-Quran yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa’/4:7:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa’/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al- Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Hadis dari Ibnu Mas’ud berikut.
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..: "Pelajarilah al-Quran dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (H.R. Ahmad).
Artinya: “Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam.
Di bawah ini secara ringkas dapat dikemukakan tabel hukum waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan Mawaris dalam Islam1. Ahli Waris
2. Syarat-Syarat Mendapatkan WarisanJumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh dzawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris dzawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut.
a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa’/4:33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
b. Pernikahan, yaitu akad yang sah untuk menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa’/4:12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”
Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda:
“. . . Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya . . .” (HR. al-Bukhari dan Muslim).(Sumber: shahih Bukhari, No. Hadist: 6254, Kitab: Fara’idl, Bab: Wala` bagi yang memerdekakan dan warisan anak temuan)
4. Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Dari Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (H.R. Bukhari).
(Sumber: Shahih Bukhari, No. Hadist: 6267, Kitab: Fara’idl, Bab: Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan sebaliknya)
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya.
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengatakan, Sa’d dan Ibnu Zam’ah bersengketa, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Anak laki-laki itu milikmu hai Abd bin Zam’ah, karena anak itu milik pemilik kasur, dan berhijablah engkau darinya ya Saudah!” Sedang Qutaibah menambah redaksi kepada kami dari Al Laits; “dan bagi pezina adalah batu.” (H.R.Bukhari).
(Sumber: Shahih Bukhari, No. Hadist: 6318, Kitab: Hukum hudud, Bab: Pezina hukuman nya batu (rajam)
e. Li’an. Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
5. Ketentuan Pembagian Harta Harisan
Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’/4:11.
Artinya: “Allah Swt. mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (Q.S. an-Nisa’/4:11).
Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud ).
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa’/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.
1) Mendapat ½
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2) Mendapat ¼
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b) Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4) Mendapat 2/3
a) Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika tidak ada bapak.
e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f ) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki.
b. Ahli Waris ‘Ashabah
Ahli waris ashabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).” (H.R. Bukhari)
(Sumber: Shahih Bukhari, No. Hadist: 6235, Kitab: Fara’idl, Bab: Warisan anak dari ayah atau ibunya)
Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama aqhabul furud, ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furud, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus.
Ahli waris ‘ashabah mengambil seluruh harta warisan, jika ia sendiri atau tidak ada ahli waris lain.
Ahli waris ‘ashabah mengambil sisa warisan setelah ahli waris furud
Jika harta warisan tidak tersisa, ahli waris ‘ashabah tidak mendapatkan apa-apa
Ahli waris ‘ashabah terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Ashabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
a) Ashabah bi an-nafsi, yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah sebagai berikut.
2) Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah
b) Ashabah bil ghair
c) Ashabah ma’al gair
2. Ashabah bissabab (karena Sebab)
Yang termasuk ‘asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘ashabah).
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai ‘ashabah.
c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut.
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘ashabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami 1/4 dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘ashabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
Mempraktikkan Pelaksanaan Pembagian Waris dalam Islam
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000,00. Ahli warisnya terdiri atas istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Hasilnya adalah:
Pembagian bagian Isteri 1/8, Ibu 1/6 dan 2 anak laki-laki ‘ashabah. Asal masalahnya dari 1/8 dan 1/6 (KPK = Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 8 dan 6) adalah 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 22.500.000,00
Ibu : 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00
Dua anak laki-laki : 24 – (3+4 ) x Rp. 180.000.000,00 = Rp.127.500.000,00
Masing-masing anak laki-laki memperoleh mawaris sebesar = Rp. 127.500.000,00 : 2 = Rp.63.750.000,00
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri atas suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Pembagian hasilnya adalah sebagai berikut.
Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan ‘aul, yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi.
Suami mendapatkan : 3/7 × Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,00
Dua saudara perempuan sekandung : 4/7 × Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,00
3. Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.
Menerapkan Perilaku Mulia
Rangkuman
1. Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orangtua harus bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya.
2. Dasar hukum waris yang paling utama adalah Q.S.an-Nisa’/4:7-12 dan 176, Q.S.an-Nahl/16:75 dan Q.S.al-Ahzab/33:4 serta beberapa hadis Nabi saw.
3. Posisi hukum kewarian Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Inpres No.1 tahun 1991.
4. Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling lengkap diuraikan secara rinci dalam al-Quran terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (furudul muqaddarah). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya perlu mendapat perhatian yang serius dari kaum muslimin.
5. Orang yang memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal dunia karena empat sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab hukmi, sebab pernikahan dan sebab hubungan agama.
6. Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian waris, yaitu pengurusan jenazah, wasiat, dan hutang.
Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris ‘ashabah bi annafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu, sebagai berikut.
1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak lakilaki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk ashabul furud.
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut.
Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisā’ /4:11, yaitu: “Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”
b) Ashabah bil ghair
Ahli waris ‘ashabah bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘ashabah lain (‘ashabah bin nafsih). Adapun ahli waris ashabah bil ghair yaitu:
1) Anak perempuan bisa menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi ‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
Orang yang termasuk ‘ashabah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
Adapun landasan hukum adanya ‘ashabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki, dan saudara perempuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.” (HR. Al-Bukhari).
2. Ashabah bissabab (karena Sebab)
Yang termasuk ‘asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘ashabah).
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai ‘ashabah.
c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut.
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘ashabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami 1/4 dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘ashabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
Mempraktikkan Pelaksanaan Pembagian Waris dalam Islam
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000,00. Ahli warisnya terdiri atas istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Hasilnya adalah:
Pembagian bagian Isteri 1/8, Ibu 1/6 dan 2 anak laki-laki ‘ashabah. Asal masalahnya dari 1/8 dan 1/6 (KPK = Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 8 dan 6) adalah 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri : 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 22.500.000,00
Ibu : 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00
Dua anak laki-laki : 24 – (3+4 ) x Rp. 180.000.000,00 = Rp.127.500.000,00
Masing-masing anak laki-laki memperoleh mawaris sebesar = Rp. 127.500.000,00 : 2 = Rp.63.750.000,00
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri atas suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Pembagian hasilnya adalah sebagai berikut.
Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan ‘aul, yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi.
Suami mendapatkan : 3/7 × Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,00
Dua saudara perempuan sekandung : 4/7 × Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,00
3. Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.
Pembagian hasilnya adalah sebagai berikut.
Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah.
Ibu mendapatkan : 1/4 × Rp.120.000.000,00 = Rp.30.000.000,00
Satu anak perempuan mendapatkan : 3/4 × Rp.120.000.000,00 = Rp.90.000.000,00
Manfaat Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu sebagai berikut.
1. Terciptanya ketenteraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang tidak mematuhi/menaati hukum syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2. Menciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.
3. Peduli Kepada Orang Lain sebagai Cerminan Pelaksanaan Ketentuan Waris dalam Islam. Melaksanakan sepuluh asas dalam hukum waris Islam,yaitu;.Asas integrity/ketulusan (Q.S Ali ‘Imran/3: 85)Asas ta’abbudi /penghambaan diri (Q.S. An Nissa’/4: 13-14),Asas Huququl Maliyah/Hak-Hak kebendaan (KHI pasal 175),Asas Huququn thabi’iyah /Hal-Hak Dasar, Asas ijbari /keharusan, kewajiban,Asas bilateral, (Q.S. An-Nisaa’/4:7dan Q.S. An-Nisaa’/4:11-12) (Q.S. An-Nisaa’/4:176), Asas individual, (Q.S. An-Nisaa’/4:8 dan Q.S. An-Nisaa’/4:33), Asas keadilan yang berimbang (Q.S. Al-Baqarah /2:233 dan Q.S. Ath- Thalaaq/65:7), Asas kematian, dan Asas membagi habis harta warisan. (KHI Pasal; 192 & 193),akan menumbuhkan kepedulian kepada orang lain sebagai cerminan pelaksanaan ketentuan waris dalam Islam.
1. Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah Swt. yang paling lengkap dijelaskan oleh al-Quran dan hadis Nabi.
2. Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya.
3. Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkan,”Berikanlah sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-Nasai).
4. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal (Q.S.an-Nisa’/4:11).
5. Ayat-ayat al-Quran dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara sistimatis didasarkan atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan. Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung, kemudian kedua orangtua mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari yang meninggal.
6. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban, karena setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara adil.
Rangkuman
1. Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orangtua harus bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya.
2. Dasar hukum waris yang paling utama adalah Q.S.an-Nisa’/4:7-12 dan 176, Q.S.an-Nahl/16:75 dan Q.S.al-Ahzab/33:4 serta beberapa hadis Nabi saw.
3. Posisi hukum kewarian Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Inpres No.1 tahun 1991.
4. Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling lengkap diuraikan secara rinci dalam al-Quran terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (furudul muqaddarah). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya perlu mendapat perhatian yang serius dari kaum muslimin.
5. Orang yang memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal dunia karena empat sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab hukmi, sebab pernikahan dan sebab hubungan agama.
6. Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian waris, yaitu pengurusan jenazah, wasiat, dan hutang.