Skip to main content

Ketika Hatiku Tertawan di Goa Seplawan

“Dunia itu seluas langkah kaki, jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.”
Kata bijak Soe Hok Gie dalam buku "Catatan Seorang Demonstran" itu tiba-tiba terlintas di benakku. Sesaat setelah dua kawan lamaku mengirimkan sebuah pesan melalui WhatsApp. Pesan dari kedua kawan yang tengah pulang ke kampung halamannya itu, isinya nyaris sama: ajakan jalan-jalan.

Tanpa basa-basi, aku pun mengiyakan. Kebetulan akhir pekan itu, aku juga sedang pulang kampung. Jalan-jalan bersama mereka tentu bisa menjadi momentum yang tepat untuk bersilaturahmi setelah sekian lama tak berjumpa. Lebih dari itu, bagiku, setiap perjalanan pasti akan memberi sebuah kesan dan pesan. Kesan akan indahnya warna-warni kehidupan, dan pesan untuk selalu belajar mengerti tentang kehidupan. Dan akhirnya, setelah diskusi panjang lebar, kami pun bersepakat untuk menjelajah ke satu tempat yang sangat menawan, Goa Seplawan.


***
Perjalanan kami ke Goa Seplawan berawal ketika mentari pagi mulai naik setinggi dua tombak. Ketika itu, langit pagi terlihat cukup cerah. Secerah tiga wajah sahabat karib yang sama-sama memendam rindu. Dulu, aku, Mas Eko, dan Mas Dwi pernah bersama-sama menjalani kehidupan di Kota Malang untuk menimba ilmu. Sebelum akhirnya aku pulang ke kampung halaman dan melanjutkan petualangan merantau ke Prambanan, Klaten hingga kini. Semenjak itu, kami memang jarang sekali bertemu.

“Yuk, berangkat sekarang, Mas.. Mumpung masih pagi..” Ucap Mas Eko sembari menyalakan motor bebeknya. Sementara Mas Dwi sudah menunggu kami sambil menjalankan motornya pelan-pelan.

Aku buru-buru naik ke boncengan. Pelan tapi pasti, motor kami melaju ke arah timur melewati jalan raya Kutoarjo-Purworejo. Jarak dari Kutoarjo, tempat tinggal kami, ke Purworejo kurang lebih 20 km. Biasanya jarak tersebut bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu kurang dari setengah jam.

Di langit timur, matahari semakin meninggi, ketika kami sampai di Kota Purworejo. Jalanan di kota sudah mulai sesak dengan berbagai kendaraan bermotor. Kendaraan kami pun hanya bisa berjalan dengan kecepatan 20 kilometer perjam, tidak lebih. Beruntung, kondisi ini tidaklah lama. Karena begitu keluar dari kota, terlihat jalan ke arah Kaligesing lumayan lengang. Sehingga, kami bisa memacu motor lebih cepat untuk segera tiba di Goa Seplawan.
Sisi selatan Bukit Menoreh yang permai
Sisi selatan Bukit Menoreh yang permai

Goa Seplawan adalah salah satu goa yang terletak di gugusan Bukit Menoreh, perbatasan antara Purworejo dan Kulon Progo. Tepatnya di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Lokasi ini bisa dicapai dengan kendaraan pribadi maupun umum. Namun, karena jam operasional dan jumlah angkutan umum dari Purworejo menuju Goa Seplawan sangat terbatas, maka jika kamu hendak berpetualang kemari, alangkah lebih baik jika menggunakan kendaraan pribadi saja. Bisa roda dua maupun roda empat.

Bagi yang dari luar kota, kamu bisa menggunakan transportasi pesawat menuju Bandara Adisutjipto. Atau jika menggunakan kereta api, turunlah di Stasiun Tugu Yogya. Kemudian menyewa mobil untuk menuju ke lokasi dengan mengambil rute ke arah Samigaluh melalui jalan Godean. Cara ini lebih kurekomendasikan. Dari pada turun di Stasiun Jenar Purworejo, bisa jadi kamu akan kesulitan mencari angkutan umum untuk menuju ke lokasi.

Tiba di Goa Seplawan yang Menawan

Jarak Goa Seplawan dari Kota Purworejo sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar 20 kilometer saja. Namun, karena medannya kebanyakan berupa kelokan dan tanjakan, kami membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk tiba di lokasi Goa Seplawan. Jangan berfikir terasa lama. Karena hampir di sepanjang jalan menuju lokasi ini, bentangan Perbukitan Menoreh menyuguhi kami dengan keindahan alam yang hijau permai. Sehingga, 45 menit pun hanya terasa sekejap saja.

“Sepuluh ribu, Mas. Untuk tiket dan parkir dua motor..”  Tiba-tiba seorang petugas retribusi menyambut kami di depan portal. Aku segera mengeluarkan dompet dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepadanya. Setelah portal dibuka, kami pun masuk ke area wisata Goa Seplawan.
Mari jelajahi surga yang tersembunyi ini
Mari jelajahi surga yang tersembunyi ini

Memasuki kawasan wisata ini, hawa dingin semakin terasa. Untuk mengusirnya, kami pun menyempatkan diri untuk mampir di sebuah warung kopi. Sensasi hangatnya kopi saat bertemu dengan dinginnya udara perbukitan terasa susah untuk digambarkan dengan kata-kata. Anggap saja, seperti seorang jomblo yang bertemu dengan pujaan hatinya. Begitulah kira-kira.

Sambil menikmati kopi dan pisang goreng, kami sempat bertanya-tanya tentang Goa Seplawan ini kepada pemilik warung. Dari jawaban-jawabannya, sedikit banyak kami jadi lebih tahu tentang sejarah goa ini. Konon, goa ini ditemukan oleh masyarakat pada tahun 1979. Pada saat itu, dari dalam goa ditemukan pula patung emas berbentuk Dewa Siwa dan Parwati yang berukuran 15 cm dengan berat 1,6 kg. Kabarnya, patung tersebut saat ini tersimpan rapi di Museum Nasional Jakarta.
Patung replika Dewa Siwa dan Parwati
Patung replika Dewa Siwa dan Parwati

Usai menghabiskan segelas kopi, kami melangkahkan kaki menuju ke lokasi mulut goa berada. Patung replika Dewa Siwa dan Parwati setinggi tiga meter tampak menyambut kami. Dan seakan mendapat ucapan “Selamat datang dan selamat berpetualang”, kami pun terus berjalan, menuruni anak tangga, masuk, dan menjelajah ke dalam Goa Seplawan. Selanjutnya kami benar-benar lebur dalam atmosfir goa yang begitu mempesona.
Tangga menurun untuk masuk ke mulut goa
Tangga menurun untuk masuk ke mulut goa

Goa Seplawan ini menurut pengelola belum bisa dipastikan berapa panjangnya. Bahkan hingga hari ini, ujung goanya pun belum bisa ditemukan dan masih menjadi misteri. Adapun jarak aman yang boleh dijelajahi oleh pengunjung adalah sekitar 750 meter. Untuk menulusurinya, kita tidak membutuhkan peralatan khusus. Kita cukup berjalan mengikuti jalur yang sudah dipasangi dengan lampu penerangan.
Inilah pemandangan di dalam perut Goa Seplawan
Inilah pemandangan di dalam perut Goa Seplawan

Modal lain yang tak boleh kita lupakan saat menelusuri goa ini adalah stamina yang kuat. Karena selain panjang, lantai goa yang licin ternyata juga cukup menguras energi. Terlebih saat kita harus merunduk untuk melewati satu lorong yang tingginya hanya sekitar 80 cm. Cukup melelahkan. Tapi akan terbayar lunas dengan panorama keindahan yang ditawarkannya.
Stalaktit yang menggantung mesra di langit-langit
Stalaktit yang menggantung mesra di langit-langit

Di dalam goa, stalagmit yang menjulang gagah dari lantai dasar berpadu padan dengan stalaktit yang menggantung mesra di langit-langit. Dindingnya berhiaskan flowstone yang terlihat cantik dan menawan. Di beberapa sudut juga nampak soda straw yang menjuntai bak tirai. Belum lagi gemericik air yang mengalir manja di dalam goa, semakin menambah kesan eksotis tempat wisata yang satu ini.
Aliran air yang manja menambah kesan eksotis
Aliran air yang manja menambah kesan eksotis

Menerawang di Gardu Pandang

Matahari mulai tergelincir ke barat, ketika kami keluar dari perut goa. Kami pun istirahat sejenak, kemudian menuju musholla untuk menunaikan kewajiban pada Sang Pencipta. Ya, selain tempat parkir, Goa Seplawan juga dilengkapi dengan musholla dan beberapa fasilitas lainnya. Ada kamar mandi untuk membersihkan diri, gazebo untuk bersantai, aula untuk pertemuan, dan gardu pandang yang berada di sebelah kiri pintu masuk lokasi wisata ini.
Jalan setapak menuju gardu pandang
Jalan setapak menuju gardu pandang

Selepas sholat, kami pun memilih bersantai menuju gardu pandang. Untuk menuju tempat ini, kita cukup berjalan kaki sekitar 300 meter dari pintu masuk melalui jalan setapak. Sepanjang jalan setapak ini, kita akan ditemani oleh cantiknya taman hijau yang dipenuhi dengan berbagai tanaman hias. Terlihat asri, terasa segar dan sejuk hingga ke paru-paru.

Gardu pandang ini bukanlah gardu layaknya poskamling. Melainkan sebuah bangunan kecil dengan atap berbentuk joglo. Dari tempat dengan ketinggian 700 mdl ini, kita bisa menyaksikan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Mulai dari Perbukitan Menoreh, Kota Magelang, Yogyakarta, hingga ke Pantai Selatan. Bahkan saat cerah, kita juga bisa melihat pemandangan lima gunung sekaligus, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Slamet, Sindoro dan Sumbing.
Menerawang di gardu pandang
Menerawang di gardu pandang

Sementara kedua kawanku asyik berfoto-foto ria, aku lebih memilih menerawang nun jauh ke sana. Tak henti-hentinya aku membayangkan akan keindahan tempat wisata ini. Goa Seplawan, bagiku, ibarat wanita yang salehah. Cantik luar dan dalam. Di sisi luar goa, pemandangannya hijau memukau. Sementara di dalamnya, pahatan indah tergurat di sepanjang dinding goa. Sungguh, mahakarya Sang Pencipta ini bak surga yang tersembunyi di kerimbunan bukit Menoreh!

Menemukan Pesan Tersembunyi

Belum puas menerawang, kedua kawanku mengajak menjelajah taman untuk mengambil gambar di sana. Aku yang memang kurang begitu hobby menjadi objek foto pun diberi tugas untuk mengabadikan gambarnya. Saat itulah kutemukan dua pesan tersembunyi di balik pohon-pohon yang berada di taman Goa Seplawan.
“Sapa  mlebu  gawe ala, cilaka.  Sapa  mlebu  gawe fitnah, susah.”
Bagitulah pesan pertama yang tertulis di sebuah papan. Pesan berbahasa Jawa itu, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan “Siapa yang masuk membawa kejelekan, maka akan celaka. Siapa yang keluar membawa fitnah, maka akan susah.” Sebuah petuah untuk mengingatkan siapa saja agar selalu berniat dan berbuat baik ketika berada di lokasi Goa Seplawan.

Di tempat lain, aku menemukan sebuah papan yang juga bertuliskan sebuah pesan bijak. Seperti pesan pertama, pesan kedua ini juga berbahasa Jawa.
“Lamun sira banter aja nglancangi. Lamun sira pinter aja ngguroni. Lamun sira landep aja natuni.”
Seketika aku pun teringat, bahwa tulisan tersebut adalah sebuah sesanti atau nasihat yang syarat makna dan filosofi. “Jika engkau mempunyai kecepatan, maka sebaiknya janganlah mendahului. Jika engkau memiliki kepandaian, maka janganlah menggurui. Jika engkau memiliki ketajaman maka janganlah melukai.” Demikianlah kira-kira terjemahan bebas dari pesan ini.
Pesan penuh makna di taman Goa Seplawan
Pesan penuh makna di taman Goa Seplawan

Bagiku, makna pesan ini sangatlah dalam. Sedalam lorong Goa Seplawan yang hingga kini belum diketahui di mana ujungnya. Kalau boleh kutafsirkan, pesan ini mengajarkan kepada kita tentang pengendalian diri. Bagaimana seseorang yang memiliki kelebihan atau keunggulan, tidak boleh menggunakan keunggulannya untuk menyengsarakan dan menzalimi orang lain. Sebagaimana aliran air di dalam goa yang mengalir ke samudra luas, pengendalian diri ini juga seharusnya bermuara pada keluasan hati: mengalah, rendah hati, serta menghormati orang lain.

“Sudah sore, Mas.. Ayo pulang!!” Teriakan Mas Dwi seketika membuyarkan lamunan. 

Kami pun bergegas keluar dan pulang ke rumah. Dan seolah tertawan oleh keindahan Goa Seplawan, sepanjang perjalanan, aku masih terbayang-bayang akan segala keindahannya. Sesekali, aku juga bertanya-tanya dalam hati, “Sudahkah sikap dan perilakuku sesuai dengan pesan tersembunyi di balik pohon-pohon yang berada di taman Goa Seplawan: mengalah, rendah hati, dan menghormati orang lain?” Entahlah. Satu hal yang pasti, aku akan selalu berusaha.

***


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar