Mengenal Rabi’ah Al Adawiyah Wanita Pelopor Tasawuf
Ditulis pada: April 12, 2022
Mengenal Rabi’ah Al Adawiyah Wanita Pelopor Tasawuf
Rabi’ah Al Adawiyah lahir di Basra, 95 H/713 Masehi di Yerusalem dan wafat 185 H/801 M. Ia seorang wanita yang zuhud dan pelopor tasawuf yang mengemukakan konsep Mahabah dalam tasawufnya.
Nama lengkapnya adalah Ra’biah Binti Isma’il Al Adawiyah Al Qisiyyah. Ia berasal dari keluarga miskin, ditinggal mati ayahnya selagi ia masih kanak-kanak dan dirundung keperihatinan hidup pada masa remajanya.
Fakhruddin Attar (513 H/119 M - 627 H/1230 M), penyair mistik Persia dalam melukiskan keperihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, di mana tidak ada satupun yang dapat dimakan dan yang dapat dijual.
Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis. Pada suatu hari menjelang usia remajanya ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh penjahat dan dijual dengan harga 6 dirham.
Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang berat, memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian ia tabah menghadapi penderitaan, pada siang hari melayani tuannya dan pada malam hari beribadah kepada Allah, mendambakan ridha-Nya.
Pada suatu malam tuannya melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa : “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku untuk dapat mematuhi perintah-Mu, jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat sebentar pun dari Mengabdi kepada-Mu.”
Menyaksikan peristiwa ini, tuannya merasa takut pada Rabi’ah karena Rabi’ah memiliki kedekatan dengan Tuhan, tuannya pun membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan, Rabi’ah menjalani kehidupan Sufistik, beribadah dan berkhalwat, lebih memilih kemiskinan daripada kegemerapan duniawai.
Ia hidupi menyendiri, tidak menikah dan enggan menerima bantuan material dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin harum.
Ia dihormati oleh orang-orang yang zuhud semasanya dan sering dikunjungi para Sufi, para Sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar, Sufyan Ats Sauri dan Syaqiq Al Balkhi.
Rabi’ah memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri.
Ajarannnya dikenal melalui muridnya yang menuliskan ajaran Rabi’ah setelah Rabi’ah wafat. Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi’ah, ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M.
Begitupun tempat pemakamannya, ada yang menyatakan ia dimakamkan di dekat Yerusalem dan yang lain menyatakan ia dimakamkan di Basra kota kelahirannya. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabah (cinta mistik) yaitu penyerahan diri total kepada Allah.
Hakikat tasawufnya adalah habbul-Ilah (mencintai Allah). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala dan surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan-Nya yang azali (wujud abadi tanpa awal).
Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang mendalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat-martabat kesufian dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat rahmat dan ihsan (kebajikan) sehingga cintanya hanya kepada Allah.
Cinta Rabi’ah kepada Allah telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah SAW, ia menjawab: "Aku demi Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada Al Khaliq (Maha Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk.”
Dan ketika ditanyakan kepadanya mengapa ia tidak mau menikah ? Rabi’ah menjawab: “Barangsiapa ingin memperistrikannya maka hendaklah izin kepada Allah”. Bagi Rabi’ah dorongan mahabah kepada Allah berasal dari dirinya sendri dan juga karena hak Allah untuk dipuja dan dicintai.
Mahabah disini bertujuann untuk melihat keindahan Allah. Puisi-puisi mahabah kepada Allah yang banyak diucapkan sufi terkenal sering dinisbatkan kepadanya, misalnya:
“Ya.. Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada Neraka, bakarlah aku di dalam nerakamu dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga maka campakanlah dari dalam surga tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah engkau memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”