Ketekunan Imam Ahmad bin Hanbal Mempelajari Ilmu Demi Ibunda Tercinta
Ditulis pada: April 03, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Imam Ahmad kecil lahir pada bulan Rabi’ul Awwal, 164 Hijriah. Kedua orangtuanya pindah dari Marw (Saat ini dikenal dengan nama Mary, sebuah kota di negara Turkmenistan) menuju kota Baghdad (Irak) saat ibundanya tengah mengandungnya.
Pada saat Imam Ahmad masih bayi, sang ibunda kemudian menindik kedua telinganya lalu memasangkan dua buah mutiara.
Nasab Imam Ahmad bin Hanbal dan nasab Nabi Muhammad SAW bertemu pada nazar. Nazar memiliki dua anak yaitu Mudhar dan Rabi’ah. Mudhar merupakan kakek buyut Nabi Muhammad SAW sedangkan Rabi’ah adalah kakek buyut Imam Ahmad bin Hanbal.
Ibundanya bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani dari Bani Amir. Kakeknya bernama Hanbal merupakan Gubernur Sarkhas di bawah kekuasaan Daulah Umayyah dan termasuk seorang ulama.
Ayahnya bernama Muhammad bekerja sebagai prajurit Khalifah. Ayahanda Imam Ahmad wafat, tiga tahun setelah kelahiran Imam Ahmad. Sang ibunda merawat Ahmad bin Hanbal kecil seorang diri (single parent). Ayahnya mewariskan sebuah rumah yang menjadi sandaran hidup bagi Shafiyah dan Ahmad kecil.
Saat Imam Ahamd kecil semakin dewasa dan kebutuhan-kebutuhannya kian meningkat, sang ibunda mulai terhimpit kebutuhan hidup untuk anak dan dirinya.
Tekanan dan himpitan yang ia rasakan tidak membuatnya putus asa, bahkan ia menolak untuk menikah lagi, ia lebih memilih untuk mencurahkan seluruh waktunya untuk merawat puteranya.
Imam Ahmad bin Hanbal saat sejak kecil sudah terlihat memiliki tanda-tanda kecerdasan, hal itu terbukti ketika Imam Ahmad kecil mampu menghafal Al-Qur’an.
Ketekunannya Demi Ibunda Tercinta
Sejak kecil Imam Ahmad bin Hanbal tahu bahwa ibunya rela hidup dalam penderitaan hanya untuk memenuhi segala kebutuhannya. Oleh sebab itu, Imam Ahmad berusaha membalas jasa ibunya dengan mencurahkan segenap tenaga untuk belajar hingga mendapatkan banyak sekali ilmu di usianya yang masih belia.
Tetangga Imam Ahmad menuturkan “Saya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai pendidikan anak-anak saya. Saya mendatangkan guru untuk mengajari dan mendidik mereka. Namun saya tidak melihat diri mereka sukses.
Sementara itu Imam Ahmad bin Hanbal hanya anak yatim, tetapi ia memiliki ilmu, adab dan akhlak yang baik’. Imam Ahmad bin Hanbal berusaha sekuat tenaga membalas jasa ibunda atas kesabaran dan pengorbananya dengan keunggulan ilmu yang ia peroleh.
Keluasan ilmu Imam Ahmad membuat kagum para Ulama. Mereka berkata “Jika anak muda ini panjang umur, kelak akan menjadi hujjah bagi orang-orang dimasanya”. Saat Imam Ahmad bin Hanbal melihat dirinya menjadi beban bagi ibunya, ia meminta ibunya untuk menjual dua permata miliknya. Kedua permata itu dijual dengan harga tiga puluh dirham untuk biaya pendidikannya.
Imam Ahmad bin Hanbal muda memulai pertualangan mencari ilmunya dari Ulama-Ulama di kota Baghdad (Irak). Ia bertekad untuk tidak lagi membebani sang ibunda setelah itu.
Ia memutuskan untuk menyerahkan sepenuhnya hasil sewa rumah peninggalan sang ayah untuk ibunya. Rumah warisan ayahnya itu cukup besar dan terdiri dari beberapa ruko. Hasil sewa bualannya mencapai tujuh belas dirham setiap bulan.
Meski terbilang masih sangat belia, Imam Ahmad sering mendatangi majelis Al Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Al Qadhi Abu Yusuf menjabat sebagai Hakim di Baghdad pada masa Amirul Mukmimin Harun Ar Rasyid. Imam Ahmad bin Hanbal sangat kagum terhadap keberanian Abu Yusuf dalam menyampaikan kebenaran.
Saat pertama kali belajar, Imam Ahmad bin Hanbal berguru pada Hadis kepada Abu Yusuf. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal mengaggumi Abu Yusuf, tapi Imam Ahmad tidak mendapatkan semua hadis yang ia cari. Imam Ahmad hendak menghafal semua atsar yang diriwayatkan para perawi tsiqah setelah ia berhasil menghafal Qur’an. Sementara Abu Yusuf termasuk Ulama Ahli Ra’yi (mengedepankan Qiyas).
Imam Ahmad mempelajari hadis secara lengkap dari Hasyim bin Basyir Abu Mu’awiyah Al Wasithi pada tahun 187 H. Saat itu umur Imam Ahmad bin Hanbal menginjak usia 16 tahun. Imam Ahmad bin Hanbal terus menimba ilmu menimba hadis dari para gurunya di Baghdad selama 7 tahun, setelah itu ia berkelana menuntut hadis dari guru-guru di Basrah.
Khalaf Al Wasithi menuturkan “Ahmad bin Hanbal mendatangiku untuk mendengarkan hadis Abu Awanah, lalu aku berijtihad, tetapi ia mengabaikannya”. Imam Ahmad bin Hanbal sangat berbakti pada ibunya. Sejak kecil sang ibunda selalu menuturkan berbagai kisah, peristiwa dan aksi-aksi heroik yang ia hafal, hingga nilai-nilai Islam yang luhur tertanam ikut dalam memori Imam Ahmad sejak kecil.
Ibunda Imam Ahmad senantiasa mengingatkan kebanggaan kaumnya, kisah-kisah bangsa Arab, keutamaan-keutamaan Rasulullah SAW sang pemilik akhlak mulia dan para sahabat. Semua kisah yang ia ingat diceritakannya pada Imam Ahmad sewaktu kecil.
Ibundanya juga yang memilihkan tempat belajar Al-Qur’an. Sang ibunda selalu mengkhawatirkan udara dingin yang menimpa buah hatinya tatkala pergi belajar sebelum azan Subuh, maklum saja Imam Ahmad saat itu masih kecil.
Imam Ahmad menuturkan “Saat hendak pergi belajar hadis lebih awal, ibuku meraih bajuku dan berkata: Jangan pergi dulu hingga muadzin mengumandangkan adzan atau hingga orang-orang keluar.”
Imam Ahmad bin Hanbal menempuh banyak sekali perjalanan jauh dalam menuntut ilmu. Beliau sering mengalami kejadian-kejadian mengerikan. Sebagian besar perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki jika ia tidak memiliki uang untuk menaiki kendaraan.
Ia juga bekerja sebagai tukang panggul (kuli) untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kadang ia juga bekerja sebagai penyalin kitab karena tulisannya terbilang bagus. Melalui pengalaman-pengalaman ini, Imam Ahmad mendapatkan ketajaman pikiran.
Sementara beban berat yang ia pikul menuntutnya untuk menguasai kaidah-kaidah fikih dan hukum-hukum fatwa. Saat mencari hadis, Imam Ahmad menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan ia memikul seluruh barang bawaan dan kitab-kitabnya di atas panggung.
Imam Ahmad tidak pernah berhenti untuk menapaki berbagai penjuru hingga mengumpulkan ribuan hadis sampai bandannya kurus. Ia pernah ditegur temannya: "Kadang engkau ke Kufah (Irak), Basra, Hijaz dan kadang ke Yaman. Sampai kapan ?”.
Imam Ahmad berkata: "Bersama pena sampai ke liang kubur." Imam Ahmad tiada pernah berhenti mencari hadis meski beban dan rintangan yang ia hadapi teramat berat. Imam Ahmad tidak pernah berhenti mencari hadis meskipun beban dan rintangan yang ia hadapi teramat besar. Beliau baru menikah setelah ibunya wafat. Imam Ahmad dikaruniai dua orang anak bernama Abdullah dan Shalih.
Sumber : Abdul Aziz Asy Syinawi dalam karyanya Al-Aimah Al-Arba’ah, Hayatuhum, Mawaqifuhum, Arauhum Al Imam Ahmad bin Hanbal (edisi terjemahan: Biografi Imam Ahmad bin Hanbal: Kehidupan, Sikap dan Pendapat), diterbitkan oleh Aqwam.