Bentuk Rasa Syukur: Refleksi di Bulan Ramadan
Ditulis pada: April 04, 2022
Bentuk Rasa Syukur: Refleksi di Bulan Ramadan
KULIAHALISLAM.COM - Makan, minum dan hubungan biologis merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi agar manusia dapat mempertahankan eksistensinya di bumi.
Aktifitas dan pergerakan manusia di dunia dikendalikan oleh dorongan-dorongan yang telah diciptakan Tuhan pada diri setiap manusia.
Dorongan-dorongan itu berperan penting dalam melestarikan spesies manusia dan memiliki kekuatan untuk memaksa manusia agar mendapat setiap hal yang menjadi kebutuhannya.
Terkadang dorongan itu kuat dalam memaksa manusia untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Kadang kala juga dapat dikendalikan oleh manusia.
Berkat dorongan tersebut, pada tahap selanjutnya, manusia menjadi sosok yang tidak dapat melepaskan diri dari interaksi dengan sesamanya.
Sehingga, muncul berbagai golongan dan kelompok manusia. Mereka tergabung dalam bentuk suku, bangsa dan Negara. Puncak tertinggi dari semua itu adalah terciptanya sebuah tatanan yang melingkupi kelompok besar manusia dengan kebudayaanya dan peradaban yang khas.
Untuk mewujudkan tatanan duniawi yang ideal, seperti yang sudah disebutkan diatas, diperlukan paling tidak dua syarat. Pertama, keterlibatan urusan publik. Kedua, kualitas individual.
Kualitas individual hanya dapat diwujudkan dengan pembelajaran dan pembiasaan untuk mengendalikan diri bagi setiap individu masyarakat. (Al Mawardi: 158-181).
Puasa memiliki dimensi kesehatan. Dimensi kesehatan inilah yang sedang ramai diperbincangkan sebagai bentuk kemukjizatan Al Quran yang telah terungkap seiring laju perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pengetahuan modern membuktikan bahwa puasa tidak berbahaya bagi tubuh selama dijalankan sesuai koridor syariat. Bahkan, puasa dapat memperbaiki kualitas fisik, medis, dan biologis seseorang.
Dengan tiga dimensi yang dimiliki puasa, tidak berlebihan jika kita katakan puasa sebagai cara yang sehat secara spiritual, sosial, medical dan penuh dan dengan hikmah ketuhanan untuk mewujudkan kebaikan dunia akhirat.
Puasa dan Islam
Penggemblengan dan penguatan akidah adalah prioritas utama dalam misi dakwah diawal kemunculan Islam. Ini bisa kita buktikan dengan adanya perbedaan karakteristik antara surat-surat Makkiyah dan Madaniyah.
Akidah yang tertancap kuat dapat menjadikan perintah syariat mudah diterima dan dijalankan dengan ketulusan dan ketundukan.
Berbeda ceritanya jika umat sudah diperintahkan menjalankan kewajiban syariat, padahal akidahnya masih rapuh, alih-alih syariat akan dijalankan, yang justru muncul penolakan terhadap syariat.
Istilah puasa sendiri dalam bahasa arab disebutkan dengan Asy-Syiyam yang memiliki arti sama dengan kata Al-Imsak, yakni menahan dari melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Ketika kuda tunggangan enggan berjalan walaupun sudah dihela berkali-kali, maka akan dikatakan Shamatil Khail Anis Sairi (Kuda menahan jalannya). Ketika angin tidak berhembus maka akan dikatakan Shamat Rhih Anil Hubub (Angin menahan hembusannya).
Begitu perbuatan-perbuatan lainnya ketika tertahan berlangsungnya, maka dapat kita gunakan kata As-Shiyam. Dalam tinjauan secara medis, puasa adalah kondisi ketika badan tidak mengkonsumsi makanan untuk beberapa saat atau beberapa jam.
Dengan demikian jika tidak makan dengan alasan menjaga kelangsingan badan, maka hal tersebut sudah dapat dikategorikan menjalankan puasa dalam tinjauan medis.
Tidak makan makanan tertentu karena ada tuntutan medis seperti tidak mengkonsumsi telur untuk menghindari gatal dan tidak makan sebelum menjalankan operasi juga dapat digolongkan puasa dalam terminology medis.
Sedang dalam tinjauan syara’, puasa memiliki arti menahan dari keseluruhan sesuatu yang membatalkan puasa (makan, minum, bersenggama) mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan syarat-syarat tertentu.
Puasa Syar’i dilakukan atas dasar dorongan pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT. Tidak dilatari oleh keinginan mendapat kedigyaan, kesehatan sebagaimana uraian di atas, atau hal-hal lain yang diluar ibadah.
Hikmah dalam Ibadah Puasa
Pertama, puasa menuju kesehatan jasmani dan rohani. Allah SWT Mewajibkan puasa pada bulan Ramadan adalah suatuu tanda kesayangan Allah kepada hamba-Nya yang taat.
Dengan berpuasa, orang mukmin dapat mengagungkan Tuhannya dan menyatakan rasa syukur yang sedalam-dalamnya. Dengan pernyataan rasa syukur yang sebenarnya, puasa dapat mencegah kejahatan dan menimpa seorang mukmin, membawa dia ke arah perkembangan kepribadian yang integral.
Tidak diragukan lagi bahwa puasa dapat membentuk dan meningkatkan kesehatan jasmaniyah dan rohaniyah. Berpuasa dapat memelihara kesehatan badan. Sebab menahan diri dari makan dan minum, yang berarti mengurangi dari waktu yang biasa adalah salah satu cara menjaga kesehatan tersebut.
Para dokter sepakat menyatakan bahwa salah satu sumber penyakit terletak pada perut, pencernaan, usus dan lain-lain anggota badan bagian dalam yang bekerja ketika orang sedang makan.
Malah ada beberapa penyakit yang pengobatannya harus dilakukan dengan mengurangi makan. Karena sebab-sebab penyakit itu adalah banyak makan dan berhasilnya kelebihan makan yang bercampur aduk dalam perut dan urat-urat.
Kemudian sakit itu akan menghalangi ibadah, membuat risau hati menghalangi dzikir serta berfikir, mengeluhkan kehidupan dan memerlukan pengobatan dan dokter yang semua itu memerlukan biaya dan ongkos.
Orang yang melaksanakan puasa berusaha mengendalikan diri untuk mematuhi peraturan, yaitu peraturan yang melarang makan dan minum serta melakukan kehidupan seksual yang sah selama jangka waktu tertentu.
Peraturan itu dijalankan tanpa perasaan takut sedikitpun kepada ganjaran atau hukuman, tapi betul-betul karena kepatuhan yang bercampur kecintaan kepada Allah swt.
Barangsiapa yang membiasakan diri mengendalikan keinginan-keinginannya, tidak memperturutkannya begitu saja, maka lama kelamaaan akan menjadi tabiat yang tetap, yang bersatu dan berjalin dengan sifat-sifat kepribadiannya.
Orang yang tulus dari ujian yang demikian sudah pasti akan sanggup berjuang dan bertahan menghadapi berbagai macam kesulitan yang terbujur dan melintang di jalan raya kehidupan yang dilaluinya. Karena efek terpenting dari sudut psikologis, puasa adalah membentuk watak manusia menjadi patuh.
Kedua, puasa sebagai media latihan dan pendidikan diri. Bulan ramadan puasa yang penuh hikmah akan menjadi bermakna bila dipahami, kemudian dihayati sesuai dengan arti bulan itu sendiri. Urutan-urutan berpuasa secara rutinitas oleh pemeluk agama Islam akan lebih berarti dan bermakna dalam perjalanan kehidupan.
Ketiga, ibadah sebagai tujuan dan kebutuhan hidup manusia. Misi manusia dalam hidupnya adalah beribadah kepada Allah semata. Allah swt berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Ini dapat diartikan bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Sesungguhnya Tuhan tidak berhajat untuk disembah. Tuhan adalah Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada siapa pun. Dengan demikian, sungguh tepat bahwa arti ibadah secara etimologism sebagaimana disebutkan di atas, adalah tunduk dan patuh.
Keempat, efektifitas puasa dalam meningkatkan disiplin beribadah. Ketika terma disiplin dikaitkan dengan tema ibadah. Maka ia berarti sebuah sikap dan perilaku ketaatan dan kepatuhan kepada semua aturan Tuhan, terutama yang berupa perintah dan larangan-Nya.
Inilah yang disebut dalam Islam, sebagai sikap ‘taqwa’. Dengan kata lain, taqwa berarti melaksanakan tata aturan yang telah digariskan oleh Allah swt, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian, dalam taqwa sesungguhnya terkandung pengertian-pengertian pengendalian manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya.
Artinya, ia memenuhi dorongan-dorongann itu dalam batas yang diperkenankan oleh ajaran agama. Selain itu, ia juga mengandung perintah kepada manusia untuk berbuat baik, seprti berlaku benar, adil, memegang amanah, memenuhi janji dan menghindari permusuhan dan kedzaliman.
Ketaqwaan dalam pada ini akan menjadi tenaga pengarah manusia pada tingkah laku yang baik dan terpuji serta menjadi penangkal tingkah laku buruk, menyimpang, dan tercela. Untuk itu manusia dituntut untuk bisa membina dirinya dan mengendalikan serta menahan hawa nafsunya.
Itulah yang ingin dicapai oleh pelaksanaan puasa, yaitu untuk agar orang yang mengerjakannya mencapai derajat ketaqwaan artinya puasa adalah untuk membuktikan ketaqwaan seseorang. Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya konsep taqwa mempunyai dimensi vertikal dan horisontal.
Dalam dimensi vertikal, puasa dapat meningkatkan hubungan vertikal kepada Allah swt, dan menanamkan penghambaan diri kepada Allah swt. Manusia adalah hamba Allah swt, sedangkan hubungan manusia dengan Allah swt adalah kehambaan.
***
Puasa merupakan salah satu rukun Islam, tepatnya adalah rukun Islam keempat, yang disyariatkan pada tahun ketiga Hijriah. Inti dari puasa tersebut adalah pengendalian dari hal-hal yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai puasa.
Sehingga dengan demikian, ia dapat menjadi sebuah sarana untuk membentuk kesehatan jasmani dan rohani, di samping juga sebagai media pendidikan dan pelatihan diri menuju manusia yang berkualitas.
Puasa tetap merupakan sarana yang cukup efektif untuk meningkatkan kedisiplinan dalam beribadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Hal tersebut karena puasa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh akan mengantarkan manusia menjadi disiplin, bertaqwa kepada Allah swt dan taqwa inilah yang memberikan jalan kepada manusia untuk selalu mematuhi segala aturan Tuhan tanpa perlu adanya pengawasan lahiriyah.
Penulis: Fathan Faris Saputro (Ketua Bidang Komunikasi dan Teknologi Informasi Kwartir Daerah Hizbul Wathan Lamongan)