Keyakinan dan Cita-Cita Serta Pedoman Hidup Muhammadiyah dalam Berakidah
Ditulis pada: Maret 06, 2022
Keyakinan dan Cita-Cita Serta Pedoman Hidup Muhammadiyah dalam Berakidah |
Keyakinan dan cita-cita hidup warga Muhammadiyah: "Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam." (lihat Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, butir No. 4, point A/a).
"Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani, berupa tauhid kepada Allah SWT yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai Ibad arRahman yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi Mukmin, Muslim, Muttaqin, dan Muhsin yang paripurna.
Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirik, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah SWT." (Lihat buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, halaman 64).
Demikianlah keyakinan, cita-cita, dan pedoman hidup bagi Muhammadiyah dalam bidang akidah, akan tetapi tentu saja harus dijelaskan pengertian/definisi dari yang dimaksud dengan "akidah" itu sendiri.
Buya Prof. Dr. Haji Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tajdid, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, dan Ulama ahli tafsir Minangkabau) Rahimahullah berkata:
"Secara etimologis (lughatan), akidah berakar dari kata 'aqada-ya'qidu-'aqdan-'aqidatan. 'Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi 'aqidah berarti keyakinan (Al-Munawir, 1984, hal. 1023). Relevansi antara arti kata 'aqdan dan 'aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis (ishthilahan), terdapat beberapa definisi (ta'rif) antara lain:
1. Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التي يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن إليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولا يخالطه شك
"Aqa'id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan." (Al-Banna, tt., hal. 465).
2. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهياة المسلمة بالعقل والسمع والفطرة يعقد عليها الانسان قلبه ﻭﻳﺜﲏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﺪﺭﻩ ﺟﺎﺯﻣﺎ ﺑﺼﺤﺘﻬﺎ ﻗﺎﻃﻌـﺎ ﺑﻮﺟﻮﺩﻫـﺎ وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أويكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu." (Al-Jazairy, 1978, hal. 21).
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan sebagai berikut:
1. Ilmu terbagai dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya apabila Anda melihat tali di hadapan mata, Anda tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu ada.
Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian disebut ilmu nazhari. Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama, memerlukan dalil bagi orang-orang yang belum mengetahui teori itu.
Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal tidak memerlukan lagi dalil, misalnya sebagian lebih sedikit dari seluruh. Kalau sebuah roti kita potong sepertiganya, maka yang dua pertiga tentu lebih banyak dari yang sepertiga, tetapi hal itu pasti diketahui oleh siapa saja termasuk oleh anak kecil sekali pun.
Hal inilah yang disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.
Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa membuktikan adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenarnya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikit pun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin (ilmu) dia akan mengalami lebih dahulu.
Pertama, Syak: Saitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menolaknya.
Kedua, Zhan: Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkannya.
Ketiga, Ghalabatuz zhan: Cenderung lebih menguatkan salah satu karena sudah meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.
4. Akidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan,
6. Tingkat keyakinan (akidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil. Misalnya:
Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat informasi tentang negara tersebut dari sisi orang yang dikenal tidak pernah bohong.
Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak tertutup kemungkinan dia akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat (dalil-dalil yang menolak informasi tersebut).
Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya, sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil.
Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinannya semakin bertambah, dan segala keraguan akan hilang, bahkan dia tidak mungkin ragu lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya sekalipun semua orang menolaknya.
Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan situasi kondisinya bertambahlah pengalaman dan pengetahuannya tentang negeri yang diyakininya itu." (Lihat buku Kuliah Aqidah Islam, halaman 1 sampai halaman 4].
Setelah jelas pengertian/definisi akidah, kemudian harus dipahami sumber seharusnya akidah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukanlah semata-mata akal pikiran ataupun lainnya.
Buya Prof. Dr. Haji Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. Rahimahullah berkata:
Sumber akidah Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber akidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba—kalau diperlukan—membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur 'an dan Sunnah.
Itu pun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masail ghaibiyah (masalah ghaib), bahkan akal tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Misalnya akal tidak akan mampu menjawab pertanyaan kekal itu sampai kapan? Atau akal tidak akan mampu menunjukkan tempat yang tidak ada di darat, di udara, di lautan dan tidak ada di mana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat dengan waktu dan ruang.
Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal-hal ghaib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran? Hanya itu. (Lihat buku Kuliah Aqidah Islam, halaman 6 sampai halaman 7).
Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan