Imam Mazhab Peletak Dasar Ilmu Pengetahuan Islam
Ditulis pada: Maret 18, 2022
Imam mazhab peletak dasar ilmu Pengetahuan Islam. Setelah saya membaca sebuah buku tentang perbandingan sebuah mazhab fikih dan juga membaca pemikiran kaum Muslim klasik tentang teologi dalam Islam. Saya berkesimpulan ringan bahwa para intelektual ilmuan atau ulama adalah orang-orang saleh yang tercerahkan mereka sangat kreatif dan produktif dalam memikirkan ajaran-ajaran agama Islam.
Membukukan Alquran yang dilakukan di masa Sayyidina Ustman adalah bukti bahwa pemikir-pemikir Islam, dan khalifah saat itu berusaha keras dengan segala upaya agar terjaga kemurnian Alqur'an sampai akhir zaman dari orang-orang jahil.
Kurang lebih seratus tahun para intelektual Islam semakin matang dalam menguasai ilmu pengetahuan. Bisa jadi disebabkan atas respon terhadap yang di sampaikan Nabi Muhammad bahwa menuntut ilmu adalah wajib dari buaian sampai luang lahat, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.
Bahkan Alquran pun juga mendorong akal pikiran untuk digunakan seperti apakah kamu tidak menggunakan pikiranmu, akalmu (kebenaran rasional) lebih dari itu Qur'an juga mendorong agar manusia menggunakan sebuah pembuktian seperti apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana langit di ciptakan tanpa tiang-tiang penyangga (teori empiris)
Ummat muslim melalui Alqur'an dan hadits membuka selebar lebarnya pentingnya sebuah ilmu pengetahuan dari manapun datangnya. Bahkan kitab suci dan kitab hadist tidak membedakan timur dan barat, utara dan selatan terhadap ilmu pengetahuan.
Perintah belajar perintah membaca di canangkan oleh Nabi untuk menguasai ilmu pengetahuan agar orang-orang Muslim menjadi lebih terdidik dan mudah memahami ajaran-ajaran agama. Melalui ilmu pengetahuan diharapkan generasi muslim mampu membedakan ibadah yang di bolehkan ibadah yang dilarang.
Ahirnya umat Islam sampai pada periode Abu Hanifah, beliau adalah seorang Intelektual Islam pertama yang memikirkan tentang kemurnian ajaran Islam agar yang di ajarkan Nabi tidak bercerai-berai, agar otentisitas ajaran Nabi tetap tegak dan di amalkan dengan benar dan murni oleh generasi penerus muslim.
Apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah tidak lain dan tidak bukan melakukan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya di masa pemerintahan khalifah Ustman dalam membukukan Alqur'an. Yaitu untuk menjaga otentisitas sunnah-sunnah Rasulullah agar tidak bercampur dengan ajaran lokal terutama masalah ibadah khusus.
Ahirnya Abu Hanifah barang kali merasa perlu untuk membangun teori Jurispudensi Islam. Teori-teori itu yang kemudian di sebut dengan ilmu fikih. Tujuan dari penulisan yang didasarkan fakta penelitian Imam Abu Hanifah menyusun berbagai kitab-kitab penting.
Yang dilakukan oleh Abu Hanifah adalah awal berkembangnya ilmu-ilmu Keislaman yang langsung bersandar pada Qur'an dan sunnah terutama masalah ibadah khusus biar tidak tercampur budaya lokal.
Meskipun demikian dalam bidang muamalah para imam mazhab juga bersandar pada Qur'an dan hadist karena persoalan atas realitas sosial ekonomi dan dinamika masyarakat bisa jadi ijtihad para ulama berbeda-beda, apalagi methodologi yang di gunakan juga berbeda.
Setelah Imam Abu Hanifah hadir sebagai ahli Jurispudensi Islam kemudian muncul Imam Malik, Imam Malik adalah sarjana muslim yang berijtihad yang kedua setelah Imam Abu Hanifah. Padahal konon Imam Maliki pernah belajar kepada Imam Abu Hanifah, yang kedua jarak waktu antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tidaklah terpaut jauh.
Demikian juga kita mendapati Imam Syafii melakukan ijtihad sendiri dalam membangun Jurispudensi Islam, Imam Syafi'i tidak mengikuti Imam Malik demikian juga Imam Ahmad melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.
Pertanyaanya mengapa Imam Maliki tidak bermazhab pada Imam Abu Hanifah saja. Mengapa Imam Malik harus melakukan ijtihad sendiri tidak mengikuti Imam Abu Hanifah? Demikian juga dengan Imam-Imam yang lain.
Apakah para ahlul fikih ini tidak percaya terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para gurunya sehingga harus melakukan ijtihad sendiri. Pertanyaan seperti ini sebenarnya pertanyaan standar yang perlu jawaban standar.
Atas kejadian diatas, atas ijtihad yang dilakukan oleh para guru dan murid telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa meskipun terhadap guru sekalipun ijtihadnya boleh beda disinilah sesungguhnya sarjana muslim tidak mengultuskan manusia, justru yang dikembangkan adalah epistimologi ilmu pengetahuannya sehingga lahirlah berbagai pemikiran tentang jurispudensi Islam.
Seandainya sarjana Islam pada saat itu mengkultuskan para ulama yang sekaligus guru mungkin kita hanya mengenal satu mazhab fikih Imam Abu Hanifah. Namun faktanya tidak demikian, kita mengenal beberapa Imam mazhab artinya para sarjana Islam sadar yang sesadar-sadarnya bahwa Islam maju karena ilmu pengetahuan.
Sikap yang di contohkan oleh para Imam mazhab secara subtantif sesungguhnya adalah mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan bukan pengultusan individu tanpa harus merendahkan ulama dalam arti individu, tetap kita diharap tetap menghormati pribadi keilmuan para ulama.
Menghormati keilmuan para ulama sangat berbeda dengan mengultuskan ulama. Karena pengultusan kepada ulama secara historis yang membuat kristalisasi Jurispudensi Islam yang kemudian, kristalisasi hukum Islam membuat pintu ijtihad menjadi tertutup.
Dan tertutupnya pintu ijtihad itu yang katanya Mohammad Iqbal seorang filsuf muslim Pakistan memberikan kritik tajam atas tertutupnya pintu ijtihad yang menyebabkan intelektual kemalasan intelektual yang kemudian menurut hemat penulis menjadikan umat ada semacam intelectual psicoligis yang berujung pada intelectual afraid yang berkepanjangan di kalangan umat Islam.
Oleh: Suryawan/Agung Willis