Perlukah Beragama ? Menurut Muhammad Quraish Shihab
Ditulis pada: Februari 25, 2022
KULIAHALISLAM.COM - Tulisan ini disusun Prof. Muhammad Quraish Shihab untuk memberi jawaban terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama. Jawaban yang dikemukakan di sini diupayakan agar sedapat mungkin dapat menghindari istilah-istilah teknis keilmuan. Sehingga, diharapkan dapat dipahami oleh siapapun pembacanya.
Agama dan Pengertiannya
Menurut Prof. Muhammad Quraish Shihab, agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam). Tetapi sangat sulit memberi batasan definisi yang tepat.
Hal ini disebabkan antara lain dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah, mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.
Memang, sementara pakar seperti John Locke (1632-1704) misalnya, pada akhirnya berkesimpulan bahwa “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepada jiwaku sendiri tidak memberitahu kepadaku.”
Mahmud Syaltut menyatakan bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadikan pedoman hidup manusia. Sementara itu, Syekh Muhammad Abdullah Badran dalam bukunya Al-Madkhal ila Al-Adyan, berupaya untuk menjelaskan arti agama dngan merujuk kepada Al-Qur’an. Ia memulai bahasanya dengan pendekatan kebahasaan.
Din yang biasa diterjemahkan “agama” menurut Guru Besar Al-Azhar itu, menggambarkan hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua.
Seluruh kata yang menggunakan huruf-huruf dal, ya’ dan nun seperti “dain” yang berarti utang atau dana yadinu yang berarti menghukum atau taat dan sebagainya, kesemuanya menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi seperti yang digambarkan di atas.
Jika demikian, agama adalah hubungan antara makhluk dan khaliq-Nya. Hubungan ini berwujud dalam sikap batinya serta tampak dalam ibadah yang dilakukanya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.
Benih Timbulnya Agama Menurut Muhammad Quraish Shihab
Ada yang berpendapat bahwa benih timbulnya agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang menakutkan. Memang, rasa takut merupakan salah satu pendorong utama tumbuh sumburnya rasa keagamaan. Tetapi bahwa ia merupakan benihnya ditolak oleh pakar lain.
Sementara para pakar-pakar agama Islam berpendapat bahwa benih agama muncul dari penemuaan manusia terhadap kebenaran, keindahan dan kebaikan. Adam AS merupakan manusia pertama, yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk turun ke bumi, diberi pesan agar mengikuti petunjuk-Nya, jika petunjuk tersebut sampai kepadanya (QS. 2:38).
Petunjuk pertama yang melahirkan agama adalah ketika Adam AS dalam perjalannya di bumi ini menemukan ketiga hal yang disebutkan di atas. Sebagai ilustrasi dapat diduga Adam AS menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan, kembang yang mekar dan lain sebagainya.
Dan ditemukannya kebaikan pada angin yang sepoi yang menyegarkan disaat ia merasa gerah kepanasan atau pada air yang sejuk di kala ia sedang kehausan. Kemudian ditemukannya kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian.
Sang manusia yang memliki naluri ingin tahu, berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar dan baik ? Jiwa dan akalnya menggantarkannya bertemu dengan Yang Mahasuci dan ketika itu ia berusaha untuk mencontoh sifat-sifat-Nya.
Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan proses beragama sebagai upaya manusia untuk mencontoh sifat-sifat yang Mahasuci. Dalam Hadis Nabi Muhammad SAW ditemukan perintah untuk itu,l yaitu Takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah).
Perlukah Beragama ?
Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu. Ketika itu yang diketahuinya hanya “Saya tidak tahu.” Tetapi kemudian, dengan panah indra, akal dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah.
Dengan coba-coba, pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya, ia menemukan pengetahuan. Namun demikian keterbatasan panca indra dan akan menjadikan sekian banyak tanda tanya yang muncul dalm benaknya tidak dapat terjawab.
Hal ini dapat menggangu perasaan dan jiwanya, dan semakin mendesak pertanyaan tersebut semakin gelisa bila tidak terjawab. Hal ini dikarenakan manusia memiliki naluri ingin tahu.
Kalau demikian, manusia membutuhkan informasi tentang apa yang tidak diketahuinya itu, khususnya dalam hal-hal yang sangat mendesak yang menggangu ketenangan jiwanya atau menjadi syarat bagi kebahagiannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Petani memerlukan baju yang tidak dapat dibuatnya sendiri karena keterbatasan waktu dan pengetahuannya. Bila sakit membutuhkan dokter dan obat serta banyak lagi kebutuhan manusia yang kesemuanya dapat terpenuhi apabila mereka bekerja.
Hidup manusia bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus tepat sampai ketujuan. Namun, karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan, lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan. Nah, dengan demikian, ia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya.
Manusia memerlukan lalu lintas yang memberikannya petunjuk seperti kapan harus berhenti, harus hati-hati dan sebagainya. Siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan itu ? Manusiakah ?
Allah yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai maupun secara rinci, khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itu dinamai agama.