Kita Butuh Diakui atau Pengakuan?
Ditulis pada: Februari 24, 2022
Kita Butuh Diakui atau Pengakuan? |
KULIAHALISLAM.COM - Kita mulai dari ayat Alquran surat At Tin ayat keempat yang terjemahannya , “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”. Maka manusia merupakan makhluk yang diberikan perangkat sebaik mungkin oleh Allah swt, dari kemampuan fisik, akal, hingga perasaan (hati). Sehingga setiap makhluk bernama manusia, memiliki kelebihan masing-masing.
Namun terkadang, manusia memiliki kecenderungan ingin mendapat pengakuan dari manusia lainnya. Ia sibuk mempersolek diri, agar terlihat indah di mata orang lain. Padahal, hal tersebut tak sedikit pun diinginkan Tuhan. Sang Khalik hanya melihat iman dan taqwanya, sehingga sudah pastilah ketaqwaan dan keimanan kita pun tak perlu mendapat pengakuan dari manusia. Jika, kita mengharap ridhoNya, bukan hal lain.
Kekayaan intelektualitas serta tingkat spiritualitas, merupakan sesuatu yang dimiliki oleh orang. Menjadi identitas pada diri seseorang, yang tercermin dari sikap dan apa yang di ucap. Apabila ada keselarasan, maka akan terlihat tingkat spiritualitasnya, serta kita mampu menilai kelas intelektualitasnya. Salah satunya dari moralitasnya manusia tadi.
Kita semua tau, bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, akhirat adalah tujuan akhir. Walal akhiratu khairun laka minal ula, “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”. Yang bermakna, kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Namun kita terkadang sibuk meributkan proses, hingga lupa akan tujuan.
Sehingga kita tak sampai-sampai pada tujuan, karena menyibukan mempersolek diri, meributkan proses. Padahal kadang tujuan kita sama. Maka, ketika kita terlalu sibuk dengan dua hal tadi, lalu apa yang kita ributkan hingga keruh? Lantas kita butuh apa? Diakui manusia atau pengakuan dari Tuhan atas kelakuan kita? Hal sederhana yang kadang membuat kita terlena atas apa yang melenakan, yang disebut dunia.
Padahal dunia ini kecil, seluruhnya dan isinya saja masih kalah dengan dua raka'at sebelum (salat) Subuh. Tapi kita masih sering mempertentangkan urusan dunia yang orientasinya hanya keduniawian. Diakui oleh manusia hanyalah perhiasan, yang namanya perhiasan kadang gemerlapnya akan redup pada waktunya. Namun, kita tak pedulikan, hanya demi sesuap makan atau hanya sekadar pujian.
Maka hal tertinggi yang harus kita kejar adalah keanggunan akhlak, serta ilmu yang dapat jadi penolong saat datang sebuah tantangan. Tantangan, bukan halangan, sehingga kita termotivasi untuk mengatasinya, bukan berfikir untuk menghindarinya. Dari ilmu dan akhlak yang baik, serta dipergunakan untuk hal-hal kebaikan akan membawa kita kepada pengakuan Tuhan sebagai hamba yang budiman.
Selain itu, dengan sendirinya akan membuat manusia mengakui kita sebagai manusia (yang baik) ketika kita mampu memanusiakan manusia. Tentunya dengan ilmu dan kebaikan adab sosial kita. Sehingga dari manusia kita diakui, serta pengakuan oleh Tuhan sebagai hamba akan didapatkan.
Dalam sebuah Hadits yang artinya, “Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan jadikan dia beramal, lalu dikatakan: apakah maksud dijadikan beramal itu? Beliau bersabda, “Allah bukakan untuknya amalan saleh sebelum meninggalnya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.” (HR Ahmad dan Al Hakim). Maka ilmu yang diamalkan kepada kebaikan, ditambah dengan akhlak yang budiman berdasarkan kepada keimanan. Akan membawa kita kepada sebuah pengakuan serta diakui, dalam hal ini diakui adalah dihormati oleh manusia.
***
Oleh karena itu, menyibukan diri untuk memperlihatkan diri, bukan berarti mencerminkan kebaikan seorang manusia. Ada hal-hal yang perlu dilakukan, yang dimana dari kesemuanya ada kerendahan hati, serta sikap menghormati sesama tanpa mengedepankan rasa benci. Membenci manusia apalagi dengan mengajak orang lain, akan menjadikan diri kita tak bernilai.
Karena kebencian yang kita tebarkan, hanya akan mendapat pengakuan bahwa kita tak lebih baik dari orang yang kita benci. Maka yang paling bijak adalah dengan mengedepankan ilmu ketika berucap dan berakhlak, dan juga mengutamakan sifat menghormati kepada sesama manusia. Bukan malah kita meninggikan diri, terlebih sambil merendahkan manusia lainnya.
Sehingga pengakuan sebagai hamba akan didapat ketika kita berucap, berbuat, serta bersikap atas dasar keimanan kepada Tuhan. Bukan pujian, apalagi pencitraan. Dari situlah kita akan diakui oleh manusia lainnya sebagai manusia yang baik, dan nilai kebersamaan antar sesama manusia akan terasa indah. Karena kita bersatu karena perbedaan, bukan karena persamaan. Sekiranya seperti itulah nilai-nilai moderasi dalam beragama, beragama secara moderat. (*)
Oleh: Hendra Hari Wahyudi