Skip to main content

Antara Muhammadiyah dan Wahabiyah


KULIAHALISLAM.COM - Perdebatan soal apakah Muhammadiyah itu wahabi atau bukan semakin sengit di media sosial. Saya hanya memperhatikan saja dan tidak turut di dalamnya. 

Ada dua pendapat yang sedang berdialektika. Pertama adalah yang meyakini bahwa Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari gerakan salafi wahabi. Entah karena faktor sejarah atau ajaran. Kedua, pendapat yang ingin membersihkan Muhammadiyah dari tuduhan wahabi. 


Manakah Yang Benar Diantara Dua Kubu Ini? 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam sebuah potongan video ceramah angkat bicara. Beliau mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak punya tautan ideologis dengan wahabiyah. Alasannya adalah karena KH Ahmad Dahlan tidak pernah tercatat menjadikan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri wahabiyah) sebagai rujukan. 

Kiai Dahlan menurut Prof. Haedar lebih dekat dengan Muhammad Abduh. Namun Prof. Haedar tidak menampik juga keterkaitan pemikiran Kiai Dahlan dengan Ibnu Taimiyah dalam dimensi yang luas. Seperti kita tahu, Ibnu Taimiyah oleh sebagian orang tetap dipandang sebagai salafi dalam versi inteleknya. 

Selain soal buku-buku bacaan Kiai Dahlan, faktanya gerakan Muhammadiyah juga memang berbeda dengan wahabiyah. Jika di Saudi kelompok wahabiyah menghancurkan tempat-tempat yang dianggap menimbulkan kesyirikan, Muhammadiyah tidak pernah melakukan hal tersebut di Yogyakarta. Muhammadiyah tetap bisa hidup berdampingan dengan budaya sinkretik atau Kejawen. 

Pidato Prof. Haedar tersebut tidak lahir dalam ruang hampa. Dia lahir dalam sebuah konteks untuk merespon kubu pertama, yakni yang ingin menggiring Muhammadiyah untuk melebur ke dalam gerakan salafi wahabi. 

Adapun pandangan Prof. Haedar mengenai gerakan wahabiyah sendiri bisa dibaca dalam tulisannya yang berjudul "Anatomi Gerakan Wahabiyah". Dalam tulisan tersebut Prof. Haedar mengatakan:

Mungkin Wahabiyah di Saudi Arabia ketika berdiri memang berhadapan dengan realitas sosiologis paganisme yang angkuh dan meluas, sehingga manakala tidak disikapi dengan sikap puritan akan melahirkan praktik-praktik syirik, bid’ah, dan khurafat yang masif dan pada akhirnya mematikan spirit utama tauhid. 

Namun sudah barang tentu Wahabiyah juga tidak harus direproduksi dalam konteks zaman dan tempat yang keadaannya jauh berbeda, lebih-lebih ketika Islam dan umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini memiliki agenda dan tantangan strategis yang jauh lebih kompleks ketimbang di masa lampau. Diperlukan pemahaman Islam yang lebih mendalam dan luas, sekaligus mendakwahkannya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama pembawa misi rahmatan lil-‘alamin.

Apa yang diungkapkan Prof. Haedar cukup clear untuk membantah bahwa Muhammadiyah identik sepenuhnya dengan Wahabiyah. Namun bagi saya sanggahan tersebut masih menyisakan persoalan, yang perlu untuk dijawab. 

Persoalannya adalah bahwa di masyarakat tingkat bawah (grass root), indikator kewahabian Muhammadiyah bukanlah di sisi teologis atau filosofis seperti yang disampaikan Prof. Haedar Nashir. Melainkan dalam tataran fikih praktis. Di Muhammadiyah yang memproduksi putusan dan fatwa soal fikih adalah Majelis Tarjih. 

Suka tidak suka, putusan-putusan Majelis Tarjih banyak yang beririsan atau memiliki kesamaan dengan fikih kelompok wahabiyah. Akar persoalannya adalah bahwa Muhammadiyah memilih metode keagamaan ruju' ilal quran wa sunnah yang berkonsekuensi bahwa Muhammadiyah tidak memilih untuk mengikatkan diri kepada satu mazhab dari 4 mazhab yang muktabar. 

Bukan berarti Muhammadiyah membuang khazanah Mazhab, namun Muhammadiyah akan mengambil pendapat mazhab yang sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah. Hal ini kemudian meniscayakan bolehnya talfiq mazhab bagi Muhammadiyah. Sesuatu yang dilarang oleh para penganut mazhab. 

Dari akar pemahaman laa madzhabiyah tadi kemudian muncul fatwa seperti kunut subuh landasannya lemah, tahlilan 3,7,40 dan 1000 hari tidak ada landasannya, membaca yasin hadisnya lemah dll. Dimana fatwa-fatwa ini beririsan sekali lagi dengan wahabiyah. 

Pertanyaannya, bisakah kita menyebut bahwa Muhammadiyah bukan wahabi, namun secara metode istinbath fikih masih sama dengan gerakan salafiyah wahabiyah? 

Jawaban dari pertanyaan ini justru saya ingin kembalikan kepada kelompok Syafi'iyah yang memang menjadi mayoritas di Indonesia. 

Kawan-kawan Syafi'iyah senang ketika Muhammadiyah dengan tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan wahabiyah. Tapi maukah kalian menerima kesamaan Muhammadiyah dengan wahabiyah dalam persoalan fikih? Bahwa Muhammadiyah tidak bermazhab, tidak qunut, tidak yasinan dan tidak tahlilan?

Kalau kalian mau menerima maka persoalan ini clear. Pernyataan Muhammadiyah bukan wahabiyah bisa diakui oleh semua pihak. 

Tapi kalau sikap kalian seperti Ali Shodiqin, yang mengatakan bahwa karena pendirian Majelis Tarjih Muhammadiyah berubah menjadi Wahabi (padahal Ketua Majelis Tarjih pertama KH. Mas Mansur adalah alumni Al Azhar), bagi saya percuma mengatakan Muhammadiyah bukan Wahabiyah. 

Mungkin kelompok Syafi'iyah ingin mengatakan, oke kami terima pemahaman tidak bermazhab sebagai salah satu paham yang sah dalam Islam. Namun Muhammadiyah jangan membid'ah-bid'ahkan kami. Kalau tawarannya begitu saya sih siap saja. Tidak ada masalah. 

Tapi saya juga minta timbal balik dari kalian. Kalian juga hargai kami ketika kami memilih tidak bermazhab. Kalau sudah saling menghargai seperti ini masalah selesai. Tapi kalau masih ada yang ingin mencoba menggeser paham Muhammadiyah menjadi Syafi'iyah saya pikir persoalan ini tidak akan selesai-selesai.

Oleh: Robby Karman 

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar